Pertentangan Norma Pasal 40 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Pasal 140 Ayat (2) Undang – Undang Nom0r 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikkan (Sp3) Ditinjau Dari Aspek Korektif Bagi Tersangka Korupsi

Main Author: Hutami, Ika Putri
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/178116/
Daftar Isi:
  • Dalam Pasal 40 Undang – undang Nomor 40 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikkan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi tentu saja hal tersebut bertentangan dengan pasal 140 ayat (2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mana menyebutkan bahwa penuntut umumlah yang berwenang dalam mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikkan (sp3). Tentu saja hal tersebut sangat tidak adil bagi tersangka korupsi yang apabila tersangka tersebut tidak cukup bukti dalam proses penyidikkan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi maka tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang implikasi hukum pertentangan Pasal 40 Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan korupsi dengan pasal 140 ayat (2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta pengaturan hukum mengenai surat perintah penghentian penyidikkan (sp3) bagi tersangka yang tidak cukup bukti dalam proses penyidiikan Komisi Pemberantasan Korupsi di masa depan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah, dan pendekatan perbandingan. Teknik analisa hukum dengan menggunakan interpretasi historis, gramatical dan sosiologis. Hasil penelitian ini bahwa Implikasi hukum pertentangan Pasal 40 Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan korupsi dengan pasal 140 ayat (2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan seseorang yang apabila tersangka dalam proses penyidikkan suatu kasus korupsi oleh KPK dan tindak pidana tersebut tidak cukup bukti maka akan menimbulkan ketidakjelasan bagi status tersangka tersebut, karena setiap orang tidak terkecuali tersangka korupsi berhak tau akan statusnya. Maka tentu saja hal tersebut merampas hak asasi seseorang dan menjadi tidak adil bagi tersangka korupsi yang apabila dalam proses penyidikkan di komisi pemberantasan korupsi tersangka tersebut tidak cukup bukti untuk diajukan ke tahap selanjutnya sedangkan KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikkan seperti yang dimaksud dalam pasal 40 Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan korupsi sedangkan dalam pasal 140 ayat (2) Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwasannya surat perintah penghentian penyidikkan dikeluarkan oleh penuntut umum. Adanya petentangan norma tersebut tentu saja menimbulkan suatu ketidakpastian hukum yang mana harusnya hal tersebut disadari oleh para pembentuk undang – undang. Karena korupsi merupakan tindak pidana yang bukan hanya tindak pidana biasa namun sudah merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) jadi diperlukan juga cara – cara yang luar biasa pula (extra ordinary maesures) dalam penanganannya maka diperlukan perbaikan terhadap peraturan yang telah ada atau dengan cara membuat aturan baru terkait surat perimtah penghentian penyidikkan (SP3).