Kepastian Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Pada Kawasan Permukiman Pesisir Pantai Menurut Pasal 4 Dan 5 Peraturan Mentri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Main Author: Mamulati, Abusa
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/178271/
Daftar Isi:
  • Pada tesis ini, penulis membahas tentang kepastian penerbitan sertifikat hak atas tanah pada kawasan permukiman pesisir pantai menurut pasal 4 dan 5 peraturan Menteri Agraria dan. Tata Ruang./Kepala Badan. Pertanahan Nasional. Republik Indonesia. Nomor 17. Tahun 2016. tentang Penataan. Pertanahan Pada Wilayah. Pesisir dan. Pulau-pulau. Kecil. Latar belakang penulis mengangkat tema ini dikarenakan, pemberian hak atas tanah pada masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir pantai sering berbenturan dengan banyakna regulasi yang di tetapkan oleh pemerintah, salasatunya adalah penetapan kawasan hutan lindung pada wilayah permukiman pesisir pantai, kebijakan seperti ini secara otomatis mengakibatkan masyarakat yang mendiami kawasan permukiman pesisir pantai tersebut tidak dapat mendaftrakan tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal eksistensi masyarakat tersebut di akui oleh UUD NRI Tahun 1945, dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria, berdasarkan pengakuan tersebut maka pemerintah dalam hal ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan permen No 17 tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Pada Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dimana dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Menegaskan bahwa, apabila masyarakat yang telah bermukim di wilayah pesisir secara turun temurun dapat di berikan hak atas tanah untuk banguanan yang harus ada di wilayah tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut. (1) Bagaimana kepastian hukum penerbitan sertifikat hak atas tanah pada kawasan permukiman pesisir pantai yang di tetapkan sebagai kawasan lindung? (2) Apa implikasi yuridis dari penetapan kawasan hutan lindung pada wilayah pemukiman pesisir pantai ? Penelitian ini menggunakan metode penelitian Normatif, dengan menggunakan pendekatan undang-undang (Statue Approach). Data dari penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Bahan. hukum primer. adalah bahan. hukum yang bersifat aotoratif, artinya mempunyai otoritas seperti undang-undang. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Berupa naskah. akademis, rancangan Undang-Undang. dan hasil penelitian ahli hukum yang terdahulu. Hasil penelitian tersebut, peneliti menjelaskan bahwa, Kepastian penerbitan sertifikat hak atas tanah pada wilayah permukiman pesisir pantai yang di tetapkan sebagai kawasan hutan lindung dapat di terbitkan, selama wilayah tersebut di gunakan sebagai tempat tinggal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 4 dan 5 serta Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Agararia Dan Tata Ruang No. 17 Tahun 2016 Tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Implikasi yang timbul dari penetapan kawasan lindung di wilayah permukiman pesisir pantai sebagai bdrikut 1. kawasan tersebut tidak bisa di lekatkan hak atas tanah untuk kegiatan usaha kelautan dan perikanan, sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang. Nomor 27 Tahun. 2007 jo Undang-Undang. nomor 1 Tahun. 2014 tentang Pengelolaan. wilayah pesisir dan. Pulau- Pulau Kecil. 2. masyarakat kehilangan hak menguasai wilayahnya yang secara turun temurun telah di tempati dan merupakan hak ulayat yang di jamin secara konstitusional