Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Amonia (NH3) Terhadap Waktu Perkembangan Embrio Landak Laut (tripneustes gratilla)
Main Author: | Wibowo, Taufan |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/133156/1/RINGKASAN.pdf http://repository.ub.ac.id/133156/2/SKRIPSI_TAUFAN_W.pdf http://repository.ub.ac.id/133156/ |
Daftar Isi:
- Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan industri juga meningkat. Perkembangan dunia industri yang semakin pesat memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, pembangunan industri yang hanya mengutamakan kemajuan ekonomi tanpa memperhitungkan keadaan lingkuangan menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Kehidupan industri sangat banyak menghasilkan zat buangan yang berbahaya. Pembuangan zat-zat tersebut secara sembarangan akan menyebabkan kerusakan lingkuan terutama pencemaran air. Selain itu, pencemaran air juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah limbah domestic yang diakibatkan oleh bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Baik limbah industri maupun limbah domestic berbahaya terhadap kualitas lingkungan hidup karena mengandung senyawa organic maupun anorganik. Salah satu senyawa organik yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan adalah amonia. Bioindikator berperan penting untuk menentukan kondisi lingkungan hidup yang sebenarnya. Umumnya echinodermata merupakan hewan ideal untuk bahan uji ekotoksikologi laut. Selain mudah untuk didapatkan menurut Carnevali (2006) echinodermata memiliki siklus kehidupan yang cepat, mampu membentuk koloni, sehingga tidak dikhawatirkan terjadi penurunan populasi. Percobaan yang menggunakan telur, sperma, embrio dan juvenil serta landak laut dewasa dapat diamati dengan mudah di lapang. Untuk uji penelitian polusi laut, telur landak laut mempunyai keuntungan sebagai berikut : sederhana, mudah, cepat, sensitifitas tinggi, hasil yang seragam dan juga akurasi yang tinggi. Landak laut hidup di dasar perairan yang umumnya jernih dan tidak bergelombang besar. Berada pada kedalaman lebih dari tiga meter, di dalam zona pasang surut. Landak laut terutama fase embrionya sangat sensitif terhadap perubahan salinitas, suhu, dan pencemaran. Stadium embrio landak laut sangat baik untuk bahan bio-assay pencemaran laut (Kobayashi, 1984 dalam Sudaryanti dan Wijarni, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi amonia terhadap tahap waktu perkembangan fase embrio landak laut (Tripneustes gratilla). Penelitian ini dilaksanakan bulan Maret 2012 di laboratorium Hidrobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Menurut Nazir (2003), penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap obyek penelitian serta adanya kontrol. Perlakuannya adalah dengan menggunakan telur dan sperma landak laut yang akan diuji tingkat perkembangan embrionya dengan perbedaan kualitas air serta kandungan amonia. Pengumpulan data dengan cara deskripsi yaitu mengenai kejadian yang terjadi pada saat penelitian dan teknik pengambilan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan (Suryabrata, 1983). Metode uji berdasarkan Okazaki, (1975); (1) Induk jantan dan betina disuntik dengan KCL 0,5 M, untuk merangsang keluarnya gonad induk jantan dan gonad induk betina. (2) Induk jantan dan betina yang sudah disuntik digoyang-goyang di atas beaker glass yang sudah disiapkan hingga sperma dan telur keluar. (3) Semua sperma dan telur yang keluar ditampung pada beaker glass. (4) Telur dan sperma dimasukkan bersama-sama dalam cawan petri sambil digoyang-goyang agar telur dan sperma tercampur (pengkondisian adanya gelombang), selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3200 rpm selama 10 menit untuk memisahkan sperma steril, dan memisahkan residu dengan supernatan. (5) Hasil sentrifugasi ini kemudian dimasukkan ke dalam mikroplate yang berisi air laut yang sudah disaring dan diberi perlakuan berupa penambahan Amonia dengan konsentrasi 0 ppm; 2,5 ppm; 5 ppm; 10 ppm; dan 20 ppm. (6) pengamatan embrio setelah fertilisasi hingga pluteus dan dihitung waktu perfase. (7) Pengamatan waktu perkembangan embrio dilakukan sebanyak empat kali ulangan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa waktu perkembangan embrio pada pembelahan 2 sel dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 1 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 1,1 jam. 5 ppm yaitu 1,17 jam. 10 ppm yaitu 1,25 dan 20 ppm yaitu 1,12 jam. Perkembangan 4 sel dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 1,97 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 2,17 jam. 5 ppm yaitu 2,57 jam. 10 ppm yaitu 3,32 dan pada perlakuan 20 ppm mengalami kematian. Pada perkembangan 16 sel dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 3,22 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 3,4 jam. 5 ppm yaitu 4,02 jam. Perlakuan 10 ppm embrio tidak lagi berkembang. Perkembangan 32 sel dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 4,1 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 4,5 jam. Perlakuan 5 ppm yaitu 5,8 jam, setelah itu tidak lagi mengalami perkembangan. Perkembangan Morula dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 7,37 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 7,72 jam. Perkembangan Blastula dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 9,37 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 10,52 jam. Perkembangan Grastula dari rata-rata empat kali pengulangan pada perlakuan kontrol adalah 14,25 jam setelah fertilisasi. Sedangkan yang pada perlakuan yang menggunakan pencemaran amonia 2,5 ppm yaitu 16,87 jam, setelah itu tidak lagi mengalami perkembangan. Waktu perkembangan embrio yang semakin bertambah pada setiap fase atau bahkan mengalami kematian disebabkan karena pengaruh amonia yang diberikan. Semakin banyak dosis amonia yang diberikan pada perlakuan, menghambat fase perkembangan embrio itu sendiri, juga memperlambat waktu perkembangan embrio dari satu fase ke fase berikutnya. Karena adanya kontaminasi Amonia, maka energi iii yang seharusnya digunakan untuk berkembang dari fase ke fase berikutnya digunakan untuk mengganti sel yang telah rusak atau disebut sebagai sifat totipoteint, sehingga waktu perkembangan embrio yang terkontaminasi menjadi lebih lambat. Menurut Setokoesoemo (1986) sifat totipotent memungkinkan jika terpapar zat yang berbahaya, sel embrio yang masih hidup akan menggantikan sel yang rusak atau mati, hingga berkembang menjadi embrio yang normal. Dreide, et al., (2006), menyatakan bahwa efek pencemaran Amonia dapat mengakibatkan penurunan pembelahan embrio dan perkembangan blastula. Amonia juga menyebabkan gangguan pada fungsi seluler yang dapat mengubah ekspresi gen pada tahap akhir perkembangan. Amonia telah terbukti menurunkan pembelahan embrio dan perkembangan blastokista, menurunkan jumlah sel blastokista, mengubah metabolisme, dan meningkatkan apoptosis. Hal ini diperkuat dari pernyataan Hammon, et al., (2000), amonia dapat mempengaruhi embrio untuk berkembang dengan menurunkan konsentrasi α- ketoglutarat dengan mengubahnya menjadi glutamat, sehingga mengurangi fluks melalui siklus TCA dan habisnya ATP dalam sel embrio. Habisnya ATP sebagai energi menyebabkan tidak berkembangnya embrio atau mengalami kematian. Seiring dengan semakin tingginya kadar amonia yang diberikan pada setiap perlakuan maka akan mengabiskan energi yang terjadi pada mitokondria sehingga mempengaruhi nucleus (inti sel) sebagai pengatur pembelahan sel dan pembawa informasi genetic. Sehingga hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk ok