Penerapan Pasal 10 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat Terkait Agunan Tambahan Tanpa Perikatan (Studi Di Bank Bri Unit
Main Author: | Juliani, Merry |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2016
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/112556/ |
Daftar Isi:
- Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Penerapan Pasal 10 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat Terkait Agunan Tambahan Tanpa Perikatan. Pemilihan tema tersebut dilatar belakangi penerapan aturan penyaluran Kredit Usaha Rakyat pasal 10 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat memiliki dua sisi yang berbeda, disatu sisi pemerintah dalam pedoman Penyaluran Kredit Usaha Rakyat sesuai pedoman penyaluran Kredit Usaha Rakyat tanpa disertai agunan tambahan dan tanpa perikatan namun disisi lain bank penyalur Kredit Usaha Rakyat meminta agunan tambahan untuk menjaga tingkat kesehatan perkreditan bank berdasarkan prinsip kehati-hatian bank dalam menilai debitur menggunakan prinsip 5C yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of economy). Hal tersebut yang dapat menimbulkan masalah hukum dikemudian hari. Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini mengangkat satu rumusan masalah yaitu Bagaimana penerapan pasal 10 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat Terkait Agunan Tambahan Tanpa Perikatan di Bank Rakyat Indonesia Unit Kartini Cabang Blitar? Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis empiris dengan metode pendekatan yuridis sosiologis. Bahan hukum primer dan sekunder yang penulis akan mengolah dan membahas informasi dengan menggunakan teknik metode contect analysis untuk hasil wawancara yang merupakan proses dari suatu kejadian yaitu menggunakan tabel atau bagan untuk mendeskripsikan data yang diperoleh dilapangan agar memudahkan menganalisis dan mengambil kesimpulan. Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa penerapan pasal 10 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat belum diterapkan secara efektif. Di dalam pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan bank dapat mendapatkan resiko yang terlalu tinggi akibat penyaluran Kredit Usaha Rakyat yang tidak mewajibkan agunan tambahan dan tanpa perikatan mengingat perusahaan asuransi Kredit Usaha Rakyat hanya dapat mengganti 70% kredit yang disalurkan jika terjadi kredit bermasalah. Pada prakteknya BRI Unit Kartini menggunakan dalih bahwa jaminan tambahan tidak bersifat paksaan dan sematamata untuk membantu pemerintah karena apabila terjadi penunggakan, BRI Unit Kartini dapat menyelesaikannya dengan menggunakan jaminan tersebut. Hal tersebut tidak xii sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah bahwa Kredit Usaha Rakyat mikro maksimal Rp. 25.000.000 ini memang tidak diperkenankan disertai jaminan karena pemerintah telah menunjuk perusahaan penjamin untuk mengganti bila terjadi kredit macet. Meskipun kenyataan tidak sesuai dengan aturan pedoman penyaluran KUR, bank Bank Rakyat Indonesia Unit Kartini sebagai penyalur Kredit Usaha Rakyat menerapkan prinsip kehati-hatian dengan meminta agunan tambahan untuk meminimalisir resiko yang ditimbulkan pada perjanjian kredit Usaha Rakyat. Agunan tambahan tidak diikat pada lembaga penjamin seperti jaminan pada umumnya namun hanya berupa surat bukti penyerahan dan perjanjian dibawah tangan yang telah disepakati antara bank sebagai kreditur dan debitur dimana pengikatan agunan tambahan tersebut tidak sempurna. Dalam hal suplesi dan restrukturisasi Kredit Usaha Rakyat bank pelaksana Kredit Usaha Rakyat tidak mendapatkan pembayaran sebagaimana mestinya maka bank mengeksekusi agunan tambahan tersebut dengan cara agunan kredit tersebut dibeli bank, penjualan agunan oleh debitur secara sukarela atas arahan pihak bank dan bank menjual barang-barang jaminan dibawah tangan berdasarkan surat kuasa. Jika penjualan agunan tidak mencukupi pembayaran hutang debitur pada bank maka bank memberlakukan jaminan umum untuk mendapatkan pembayaran dari kreditur yang bermasalah sesuai dengan sisa hutang yang dimiliki debitur.