Daftar Isi:
  • Nikah menurut bahasa dalam pandangan para ulama’ fiqih, adalah akad, berkumpul dan bersetubuh. Menurut istilah makna dari nikah ialah akad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengkawinkan). Makna nikah masih menjadi polemik di masyarakat. Hal ini karena adanya pemahaman yang parsial dari kalangan masyarakat umum bahwa dengan adanya makna nikah yang berarti wathi (bersetubuh) itu disamakan dengan diperbolehkannya melakukan hubungan kelamin tanpa adanya akad. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis tertarik untuk membahas terkait dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Syafi’i dalam masalah makna nikah. Tidak hanya memaparkan pendapat dari kedua Imam tersebut, namun penulis juga mencoba menggali metode istinbath atau istidlal yang digunakan oleh Imam berdua atas pendapatnya tentang makna nikah serta apa faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan metode istinbath tersebut. Kemudian penulis juga akan membahas bagaimana implikasi makna nikah pada konteks sekarang khususnya di Indonesia.Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik dokumentasi. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut dianalisis dengan metode analisis komparatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalil pokok hukum Islam yang digunakan Imam Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan metode istinbath hukum dalam hal ini adalah ‘Urf sebagai pertimbangan atas makna teks Al-Qur’an, kemudian dalil pokok hukum Islam yang digunakan Imam Al-Syafi’i ialah Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan metode istinbath hukum yang digunakan adalah menggunakan metode dilalatul lafdzi ‘alah makna (memahami lafadz dari segi penggunan maknanya). Implikasi istinbath hokum pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Syafi’i di masyarakat berbeda. Menurut Al-Syafi’i adalah boleh menikahi seorang perempuan yang ibu/anaknya sudah dinikahi (dikumpuli tanpa akad) karena arti nikah secara hakiki adalah akad, bukan wathi (kumpul). Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah hal tersebut tidak boleh (haram) karena ibu/ anak wanita tersebut sudah dianggap sebagai ibu/anaknya yang sah, karena arti kata nikah secara hakiki adalah wathi (kumpul).