PENGISIAN KEKOSONGAN JABATAN WAKIL KEPALA DAERAH YANG DIPILIH MELALUI JALUR PERSEORANGAN BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Main Author: Massmoel, Mulyana
Format: Article info eJournal
Bahasa: ind
Terbitan: UPT TI Universitas Padjadjaran , 2014
Online Access: http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/2424
Daftar Isi:
  • PENGISIAN KEKOSONGAN JABATAN WAKIL KEPALA DAERAH YANG DIPILIH MELALUI JALUR PERSEORANGAN BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANOleh:MULYANA 110110080138 ABSTRAK Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang mengundurkan diri dari masa jabatannya yang dipilih melalui jalur perseorangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 49 Tahun 2008 perubahan ketiga dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah masih belum jelas dan menimbulkan multitafsir. Peraturan yang bersifat teknis mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah belum ada. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi preseden buruk apabila terjadi kembali pengunduran diri wakil kepala daerah lainnya yang dipilih dari jalur perseorangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan ketentuan yang mengatur mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan menurut peraturan perundang-undangan dan untuk mengetahui dan memahami urgensi pengisian wakil kepala daerah dalam membantu penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu ditekankan pada penggunaan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier baik berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan penelitian hukum. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif analitis. Analisis data dilakukan secara normatif kualitatif terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul. Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang dipilih dari jalur perseorangan tidak membedakan antara calon dari partai politik dengan calon dari perseorangan karena di dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak disebutkan harus diisi dengan calon dari perseorangan kembali. Sehingga kesempatan terbuka luas bagi seluruh Warga Negara Indonesia baik dari kalangan partai politik maupun dari kalangan perseorangan. Kedua-duanya mempunyai kesempatan yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan kata lain, setiap orang yang memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dapat diajukan/diusulkan sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan.Kata Kunci: Pengisian, Jabatan, Wakil Kepala Daerah, Perseorangan THE FULFILLMENT OF THE ABSENCE OF DEPUTY CHIEF OF MAJOR’S POSITION ELECTED FROM INDEPENDENT CANDIDATE BASED ON STATE REGULATIONS ABSTRACTThe state regulations related to the mechanism of fulfilling the absence of a deputy chief of major’s position who resigns from his/her position elected from independent candidate in his/her period based on Republic of Indonesia Government Regulation Number 49 Year 2008, the third revision of Republic of Indonesia Government Regulation Number 6 Year 2005 about a chief of major and a deputy chief of major’s election, validation, appointment, and resignation still remains unclear and it is multi-interpreted. There is no practical regulation related to the fulfillment of the absence of deputy chief of major’s position. This condition is worried to be a bad precedent in case when a deputy chief of major elected from independent candidate resigns from his/her position. This study was aimed at explaining the procedure related to the mechanism of the fulfillment of the absence of deputy chief of major’s position from independent candidate. This study was also aimed at finding out and comprehending the urgency of the fulfillment of a deputy chief of major’s position in helping govern the territory administration based on the existing state regulations.The method employed in this study was the judicial normative approach, emphasizing on the use of secondary data in forms of primary, secondary, and tertiary law, whether it is state regulations, law principle, or research of law. The study also employed analytical descriptive as its method. The data analysis was conducted through qualitative normative way toward the data gathered.Based on the result of the study, it was said that the mechanism of the fulfillment of the absence of deputy chief of major’s position do not differ the candidates from political parties and from independent candidates, because the state regulations does not say that the position should be filled by the one from independent candidate. Hence, the chance is widely open for Indonesian citizens both from political parties and independent candidates. Both parties have the same chance according to the law. In other words, every citizen who fulfills the requirement of being a chief of major and a deputy chief of major, based on what is written on law Republic of Indonesia Number 32 Year 2004 is able to propose him/herself to be a chief of major and a deputy chief of major in a territory, whether through political party although of independent candidate. Keyword: Fulfillment, Position, Deputy Chief of Major’s, Independent PENDAHULUAN Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[1]. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Kendati partai politik berfungsi salah satunya sebagai sarana politik warga negara, akan tetapi sebagian kalangan masyarakat menilai sudah tidak percaya lagi dengan peranan partai politik dalam Pemilihan umum Kepala Daerah dengan alasan bahwa partai politik sudah tidak menampung aspirasi masyarakat untuk kepentingan rakyat melainkan hanya memperhatikan kepentingan golongan tertentu. Berdasarkan perkembangan hukum dan politik untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi masyarakat, Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah perlu dilakukan secara lebih terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu penyelenggaraan Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dilakukan perubahan dengan memberikan kesempatan bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketentuan tentang calon perseorangan ini diperbolehkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-V/2007[2] yang membolehkan calon perseorangan dalam Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya berimplikasi terhadap Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia. Untuk menindaklanjuti perangkat hukum dari putusan MK tersebut maka keluarlah perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yaitu UU No.12 Tahun 2008. Sejak saat itu banyak pengajuan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari perseorangan (independent). Tidak sedikit pasangan calon perseorangan tersebut terpilih sebagai pemenang dalam Pemilihan umum Kepala Daerah. Namun permasalahan dicontohkan ketika pengunduran diri pada masa jabatan yang dilakukan oleh Wakil Bupati Kab. Garut Dicky Chandra yang berasal dari jalur perseorangan (independent) yang berpasangan dengan Bupati terpilih periode masa jabatan tahun 2009-2014. Pengunduran diri yang dilakukan Wakil Bupati Kab. Garut Dicky Chandra pada waktu itu masih menyisakan waktu 25 (dua puluh lima) bulan. Ini artinya bahwa pengisian kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah yang masih tersisa masa jabatan dari 18 (delapan belas) bulan atau lebih, Kepala Daerah mengajukan 2 (dua) orang calon Wakil Kepala Daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD[3]. Redaksional dari pasal 26 ayat (7) UU No.12 Tahun 2008 tersebut menimbulkan multitafsir. Penafsiran dari pasal 26 ayat (7) UU No. 12 Tahun 2008 tersebut bisa ditafsirkan, yaitu: Kepala Daerah “dapat” mengusulkan calon Wakil Kepala Daerah atau Kepala Daerah “harus” mengusulkan calon Wakil Kepala Daerah untuk diajukan kepada Rapat Paripurna DPRD. Hal tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam penjelasan UU No. 12 Tahun 2008 maupun peraturan pelaksana lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada Pasal 131 ayat (2d) PP No. 49 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga dari PP No. 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah masih belum jelas dan masih menimbulkan multitafsir. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah yang mengundurkan diri dari masa jabatannya yang dipilih melalui jalur perseorangan (independent) yang diatur dalam PP No. 49 Tahun 2008 perubahan ketiga dari PP No. 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah masih belum jelas dan menimbulkan multitafsir. Hingga sampai saat ini, peraturan perundang-undangan yang bersifat petunjuk tertulis ataupun yang bersifat petunjuk pelaksana mengenai pengisian kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota) masih belum ada. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi preseden buruk apabila terjadi kembali pengunduran diri Wakil Kepala Daerah lainnya yang dipilih dari jalur perseorangan (independent) sedangkan belum tersedianya peraturan teknis yang mengatur hal tersebut. IDENTIFIKASI MASALAH Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka Peneliti berusaha menghimpun beberapa masalah yang akan digunakan untuk menganalisis pengisian kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah yang dipilih melalui jalur perseorangan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :Bagaimana Mekanisme Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah dari Jalur Perseorangan Menurut Peraturan Perundang-undangan?Sejauh Mana Urgensi Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah dalam Membantu Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah? HASIL PEMBAHASANA. Mekanisme Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah dari Jalur Perseorangan Menurut Peraturan Perundang-undangan Mekanisme Pengaturan Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota yang Dipilih dari Jalur Perseorangan baik tingkat Pemerintahan Provinsi maupun Kabupaten/Kota[4]: Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) mengajukan 2 (dua) orang calon Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota) untuk dipilih dalam Rapat Paripurna DPRD (sesuai dengan pasal 26 ayat (7) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Mekanisme untuk mendapatkan 2 (dua) orang calon Wakil Kepala Daerah tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu melalui:Penunjukan langsung oleh Kepala Daerah; AtauDengan cara proses penyaringan/pendaftaran calon Wakil Kepala Daerah yang dibantu oleh masing-masing tim seleksi Internal dari Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota); Baik melalui penunjukan langsung maupun penyaringan melalui pendaftaran, maka Kepala Daerah harus memilih 2 (dua) orang calon Wakil Kepala Daerah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 58 UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Persyaratan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan penunjukan langsung dari Kepala Daerah maupun penyaringan melalui pendaftaran tim khusus semata-mata untuk memberikan kesempatan kepada setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dikotomi antara calon dari partai politik dan calon dari perseorangan dihilangkan karena di dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak disebutkan harus diisi dengan calon dari perseorangan kembali, sehingga kesempatan terbuka luas bagi seluruh Warga Negara Indonesia baik dari kalangan partai politik maupun dari kalangan perseorangan (independen). Kedua-duanya mempunyai kesempatan yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan;Kepala Daerah memberikan 2 (dua) nama calon Wakil Kepala Daerah kepada DPRD Provinsi/Kab/Kota. Selanjutnya, persyaratan administrasi 2 (dua) orang calon Wakil Kepala Daerah tersebut dilakukan Verifikasi (sesuai dengan Pasal 42A PP Nomor 49 Tahun 2008 yang didukung dengan Peraturan DPRD Provinsi/Kab/Kota tentang Tata Tertib Pemilihan Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota). Verifikasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:Pimpinan DPRD Provinsi/Kab/Kota meminta bantuan kepada KPUD Provinsi/Kab/Kota; dan/atauDengan membentuk Panitia Pemilihan (Panlih) yang bersifat sementara (adhoc) yang berasal dari anggota DPRD yang pembentukannya dengan Keputusan DPRD. Peranserta keterlibatan KPUD untuk duduk dalam tim verifikasi hanya sebatas memberikan pertimbangan dan penilaian, tanpa memberikan keputusan akhir.Setelah dilakukan verifikasi dan memenuhi persyaratan, maka Rapat Paripurna DPRD Provinsi/Kab/Kota melalui Pimpinan DPRD Provinsi/Kab/Kota menetapkan 2 (dua) calon Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan untuk selanjutnya dipilih dalam Rapat Paripurna DPRD.Pelaksanaan Pemilihan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Anggota DPRD yang hadir dan telah mencapai qourum dalam Rapat Paripurna DPRD dengan memperhatikan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib Pemilihan Wakil Kepala Daerah Sisa Masa Jabatan Periode ......;Dalam proses pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur maupun Wakil Bupati/Wakil Walikota dilakukan melalui langkah koordinasi dan konsultasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dan juga DPRD Provinsi/Kab/Kota baik dalam proses pengunduran diri maupun pengisian kekosongan jabatan serta dalam proses penyusunan Tata Tertib Pemilihan DPRD dengan memperhatikan aspirasi publik/masyarakat luas. B. Urgensi Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah dalam membantu Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Mengingat Jabatan Wakil Kepala Daerah itu tidak “tersurat” dalam UUD 1945, maka terkesan jabatan tersebut sifatnya “fakultatif”. Sehingga muncul permasalahan berkaitan dengan jabatan Wakil Kepala Daerah, diantaranya[5], yaitu:Apakah jabatan Wakil Kepala Daerah itu sebaiknya diisi atau tidakBila jabatan itu akan diisi, maka apakah :Dilakukan melalui pemilihan umum langsung, baik secara berpasangan (seperti pada UU No. 32 Tahun 2004), maupun secara terpisah;Dipilih melalui DPRD, baik secara berpasangan (seperti pada UU No. 22 Tahun 1999), maupun secara terpisah (seperti UU No. 18 Tahun 1965 dan UU No. 5 Tahun 1974);Diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada Presiden (bagi wakil Gubernur), dan kepada Menteri Dalam Negeri (bagi Wakil Bupati dan Walikota)Diangkat oleh Presiden (bagi Wakil Gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (bagi Wakil Bupati dan Wakil Walikota) dari jabatan “karier” yang diajukan Kepala Daerah.Bila jabatan Wakil Kepala Daerah itu akan diisi, apakah pengisiannya akan dipilih secara langsung oleh rakyat (seperti dalam UU No. 32 Tahun 2004), atau dipilih secara tidak langsung melalui DPRD (seperti pada UU No. 22 Tahun 1999). Sebab UUD 1945, untuk pengisian jabatan Kepala Daerah, hanya menentukan dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4). Artinya, dapat dipilih secara langsung oleh rakyat (seperti Presiden dan Wakil Presiden setelah amandemen UUD 1945), atau dipilih secara tidak langsung/melalui DPRD. Kedua cara tersebut mengandung makna yang sama, yaitu sama-sama demokratis[6].Dengan demikian, apabila ditelaah lebih lanjut pengaturannya dalam UU No. 32 Tahun 2004, terkesan berlebihan jika dilihat dari segi teknik perundang-undangan[7]. Menurut Pasal 24 ayat (5), dikatakan bahwa: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Namun, berdasarkan Pasal 56 ayat (1), “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis”. Ketentuan pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, terbuka kemungkinan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah dilakukan secara tidak langsung/melalui DPRD. Mungkin pembentuk UU No. 32 Tahun 2004, di satu sisi akan melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 (dipilih secara demokratis). Di sisi lain mungkin juga terinspirasi oleh Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan calon secara langsung oleh rakyat”.Bila memilih cara pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah melalui “Pengusulan” dari Kepala Daerah kepada Presiden (bagi Wakil Gubernur) dan kepada Menteri Dalam Negeri (bagi Wakil Bupati dan Wakil Walikota) dengan persetujuan DPRD, maka dalam hal ini peran DPRD hanya sekedar memberikan persetujuan (tanpa melalui pemilihan) kepada calon Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh Kepala Daerah, yang selanjutnya akan disampaikan ke tingkat yang lebih atas. Cara pengisian jabatan seperti ini, hampir sama dengan yang pernah dilaksanakan pada masa UU No. 18 Tahun 1965 (pasal 12 dan 13)[8]. Sedangkan apabila dengan cara “Diangkat” oleh Presiden (bagi Wakil Gubernur) atau Menteri Dalam Negeri (bagi Wakil Bupati dan Wakil Walikota) yang diambil dari jabatan “karier” yang diajukan oleh Kepala Daerah, maka dalam hal ini, calon Wakil Kepala Daerah harus berasal dari kalangan pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Cara pengisian jabatan seperti ini mirip dengan cara yang pernah dilaksanakan ketika masa UU No. 5 Tahun 1974 (Pasal 24). Pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah melalui cara ini, dilaksanakan sesuai dengan “kebutuhan” dan kedudukannya adalah merupakan “pejabat negara di daerah”.Selain itu juga, keberadaan jabatan Wakil Kepala Daerah (termasuk juga Kepala Daerah), akan tergantung pada status suatu daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dan apakah semata-mata sebagai daerah otonom (dalam rangka desentralisasi), seperti: Kabupaten/Kota menurut UU No. 32 Tahun 2004, atau merangkap di satu pihak sebagai daerah otonom dan di lain pihak sebagai wilayah administratif (dalam rangka dekonsentrasi), seperti Provinsi menurut UU No. 32 Tahun 2004.Sementara itu, ada wacana yang berkembang saat ini bahwa Provinsi sepenuhnya dijadikan sebagai wilayah administratif, sedangkan Kabupaten dan Kota diberikan status otonomi penuh. Sehubungan dengan tersebut, maka untuk wilayah Provinsi, Jabatan Gubernur dipilih oleh DPRD dan Jabatan Wakil Gubernur masih belum jelas. Sebaliknya, untuk jabatan Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat sedangkan Wakil Bupati/Wakil Walikota masih belum jelas juga[9].Ada 2 (dua) opsi untuk pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah, yaitu: Pertama dengan cara diusulkan oleh Kepala daerah kepada Presiden (untuk Wakil Gubernur) atau diangkat oleh Presiden dari kalangan Pegawai Negeri Sipil. Kedua dengan cara diusulkan oleh Kepala Daerah kepada Mendagri (untuk Wakil Bupati/Wakil Walikota) atau diangkat oleh Mendagri dari kalangan Pegawai Negeri Sipil. Namun, apabila Provinsi ditempatkan sebagai daerah otonomi penuh, maka pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, sebaiknya dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD. Untuk jabatan Bupati/Walikota beserta Wakil Bupati/Wakil Walikota tetap dipilih langsung oleh rakyat secara berpasangan.Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2008 salah satunya membenahi yang berkaitan dengan kedudukan Wakil Kepala Daerah. Ada beberapa pilihan (choice) arah kebijakan perbaikan untuk menyelesaikan persoalan tersebut: Pertama, memperkuat kedudukan Wakil Kepala Daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangan serta hubungan antara Kepala Daerah. Kedua, pemilihan Kepala Daerah hanya dilakukan untuk memilih seorang Kepala Daerah dan tidak serta-merta memilih Wakil Kepala Daerah dengan asumsi bahwa Wakil Kepala Daerah tidak disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945. Namun, bila kedudukan Wakil Kepala Daerah dianggap penting dengan kriteria yang ada, Wakil Kepala Daerah cukup diangkat dan ditetapkan pemerintah sesuai dengan tingkatan pemerintahan. Untuk Wakil Gubernur ditetapkan oleh Kemendagri dan untuk Wakil Bupati/Wakil Walikota ditetapkan oleh Gubernur sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi. Ketiga, dengan menggunakan model tersebut, Kepala Daerah terpilih menentukan dua calon Wakil Kepala Daerah yang berasal dari partai politik dan/atau birokrat dan/atau perseorangan yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam rangka membantu Kepala Daerah selama menjalankan pemerintahan daerah. Selanjutnya disodorkan nama-nama tersebut ke DPRD untuk dipilih dalam sidang paripurna. Lantas kemudian diusulkan untuk dilantik secara bersama-sama. Pilihan-pilihan pengaturan kebijakan Wakil Kepala Daerah tersebut semata-mata untuk menciptakan penyelengaraan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) tanpa ada pemimpin daerah yang mengundurkan diri. Dalam penyusunan materi revisi UU Nomor 32 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah, Penulis mencatat ada dua kubu pemikiran, yakni:1) kubu yang ingin konsisten dengan UUD 1945;2) kubu yang ingin meneruskan pola yang sudah digunakan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diteruskan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Kubu yang ingin konsisten dengan UUD 1945. Kubu ini berpandangan bahwa dalam konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) diatur bahwa hanya gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota saja yang dipilih. Sedangkan jabatan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota tidak termasuk jabatan yang dipilih. Karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945, maka UU Nomor 32 Tahun 2004, khususnya hal yang berkaitan dengan pilkada yang memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam satu paket pemilihan dianggap tidak sejalan dengan konstitusi. Pengisian jabatan Wakil Kepala daerah bersifat tentative, sesuai kebutuhan masing-masing daerah, dan diisi melalui mekanisme pengangkatan dari PNS yang memenuhi syarat. (mengikuti pola UU Nomor 5 Tahun 1974). Kubu yang ingin Meneruskan Pola UU Nomor 32 Tahun 2004 ini meskipun menimbulkan kontroversi, tetapi sampai saat ini ketentuan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam satu paket pemilukada yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak pernah ada yang melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, sehingga dianggap tidak ada yang secara konstitusional dirugikan. Dengan adanya jabatan Wakil Kepala Daerah membuka peluang adanya proses kaderisasi bagi calon Kepala Daerah di masa mendatang, karena selama ini kaderisasi pimpinan daerah relatif terbatas, sehingga banyak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang muncul secara mendadak tanpa latar belakang pengalaman di bidang pemerintahan yang relatif memadai. Padahal dalam era desentralisasi sekarang ini, posisi Kepala Daerah sangat strategis dalam menentukan kemajuan daerah, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Menurut hemat Penulis, urgensi pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah dalam membantu penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan landasan pemikiran teori tentang teori jabatan dan teori wakil serta landasan pemikiran dari Kuntana Magnar yang penulis kutip sebelumnya itu sebagai pendukung pentingnya eksistensi jabatan Wakil Kepala Daerah di Indonesia. PENUTUPA. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, beberapa hal dapat ditarik sebagai kesimpulan sebagai berikut:Dikotomi perbedaan antara calon dari partai politik dengan calon dari perseorangan dihilangkan karena di dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak disebutkan harus diisi dengan calon dari perseorangan kembali. Sehingga kesempatan terbuka luas bagi seluruh Warga Negara Indonesia baik dari kalangan partai politik maupun dari kalangan perseorangan (independen/ nonpartisan). Kedua-duanya mempunyai kesempatan yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) seiring dengan bertambah kompleksnya urusan pemerintahan (terutama daerah kabupaten/kota yang mempunyai otonomi “luas”) tentu memerlukan pendamping yang berkedudukan sebagai Wakil Kepala Daerah. Hal tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya suatu keadaan Kepala Daerah berakhir masa jabatannya di tengah jalan (diberhentikan, berhalangan tetap dalam masa jabatannya, atau mengundurkan diri). Dalam situasi “darurat” semacam itu, dibutuhkan secepatnya ada penggantinya (sampai sisa masa jabatannya), supaya terhindar dari kekosongan jabatan. Jabatan Wakil Kepala Daerah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing yang mempertimbangkan aspek besar/kecilnya jumlah penduduk, luas wilayah, dan kompleksitas permasalahan di setiap daerah. B. SaranPenelitian skripsi ini dapat memberikan masukan ide, gagasan, atau rekomendasi kepada pihak yang berwenang dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk membuat peraturan teknis dalam bentuk Peratuan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan (Independent). Urgensi pengisian jabatan wakil kepala daerah melalui cara-cara yang telah dipaparkan, penulis tetap mengharapkan eksistensi Waki Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota) tetap ada serta diatur secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua undang-undang pemerintahan daerah Gugatan dari Lalu Ranggalawe, seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya Tulisan Pemikiran Kuntana Magnar dari Susi Dwi Harijanti (ed) et al, Negara Hukum yang Berkeadilan Suatu Kumpulan Pemikiran dalam rangka Purnabakti Bagir Manan, PSKN-HTN FH Unpad, Bandung, Hlm. 276-280 Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah dari Kemendagri yang sedang dibahas bersama dengan Revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di DPR. [1] Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [2] Gugatan dari Lalu Ranggalawe, seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya [3] Pasal 26 ayat (7) UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua undang-undang pemerintahan daerah [4] Penulis merumuskan mekanisme pengaturan pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah diambil dari berbagai sumber penelitian baik bersifat teori maupun praktis yang masih relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [5] Tulisan Pemikiran Kuntana Magnar dari Susi Dwi Harijanti (ed) et al, Negara Hukum yang Berkeadilan Suatu Kumpulan Pemikiran dalam rangka Purnabakti Bagir Manan, PSKN-HTN FH Unpad, Bandung, Hlm. 276-280 [6] Ibid, hlm. 278 [7] Ibid, hlm. 278 [8] Ibid, hlm. 278 [9] Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum Kepala Daerah dari Kemendagri yang sedang dibahas bersama dengan Revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di DPR.