Daftar Isi:
  • Penelitian ini difokuskan pada bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dan kekuatan hukum dari putusan tersebut. Penelitian ini akan menggunakan metode normatif dengan melakukan pendekatan historis, pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Pertama, Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi, pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini masih memiliki kekurangan yaitu tentang bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kedua, Tidak adanya kejelasan bentuk putusan, berimplikasi pada kekuatan hukum dari putusan tersebut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur secara eksplisit mengenai bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pengaturan mengenai bentuk putasan ini baru diatur dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang mana menurut ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa putusan ini berbentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP-MPR). Secara yuridis, ketentuan pasal ini telah memberikan kekuatan hukum yang kuat terhadap bentuk putusan tentang Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, meskipun secara teoritis ketentuan pasal ini bertentangan dengan teori tentang jenjang norma dan asas hukum “Lex Superior Derogat Lex Inferior”