Daftar Isi:
  • Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas banyak menimbulkan problematika dan debat yuridis. Salah satu penyebab nya adalah karena pengaturannya banyak yang multiinterpretatif dan adanya ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam pasal 93 ayat (1) dalam Undang-undang perseroan terbatas mengenai larangan pengangkatan Direksi Perseroan Terbatas yang dinyatakan Pailit. Oleh karena itu judul skripsi ini membahas Analisis Ketentuan Larangan Pengangkatan Direksi Perseroan Terbatas yang Dinyatakan Pailit. Persoalan pokok dari skripsi ini adalah Apakah larangan Pengangkatan Direksi Perseroan Terbatas yang dinyatakan pailit dalam pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas selaras dengan akibat hukum kepailitan terhadap debitur pailit dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, serta Apakah larangan tersebut bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia atas Pekerjaan dalam Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.Metode yang digunakan dalam analisis skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengkajian melalui beberapa pendekatan perundang-undangan (statuta approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat Ketidakselarasan atau Ketidaksesuaian antara Pasal 93 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas mengenai Larangan Pengangkatan Direksi Perseroan Terbatas yang Dinyatakan Pailit dengan Akibat Hukum Kepailitan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, yaitu dalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 larangan Direksi Perseroan Terbatas yang dinyatakan pailit baru dapat diangkat menjadi Direksi di Perseroan Terbatas dengan pembatasan jangka waktu 5 (lima) tahun, sedangkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan mengenai akibat hukum kepailitan Hak Direksi kembali pulih setelah pailit nya Perseroan Terbatas tersebut berakhir. Adapun ketentuan tersebut juga bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia atas Pekerjaan dalam Pasal 28 D ayat 2 Undang-undang Dasar yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuaan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.