Konsep Penyandang Cacat dan Eksistensinya Menurut al Qur’an
Daftar Isi:
- Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode tafsir tematik (Maudhûî). Kajian ini berangkat dari sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa keberadaan penyandang cacat yang tidak dapat dinafikan dan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Berdasarkan teori ilmu sosial secara umum penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fisik, non fisik dan ganda. Semua kelompok penyadang cacat itu bermuara pada ketidakmampuan dan ketidakberfungsian organ-organ fisik (panca indra) maupun non fisik (bermuara pada saraf). Pada tataran realita, para penyandang cacat masih seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi dan stigma negatif dari orangorang sekitar. Maka penelitian ini bertujuan untuk meneropong bagaimana al Qur’an berbicara mengenai penyandang cacat serta eksistensinya dalam tatanan sosial dan hukum. Terminologi yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan keberadaan penyandang cacat adalah : ىَوْػَأ (a’mâ) dan ََوْكَأ (akmah) untuk menunjukkan makna buta (tunanetra), ٌنْكُث (bukmun) untuk menunjukkan makna bisu (tunawicara), ٌنُص (shummun) untuk menunjukkan makna tuli (tunarungu), dan جَشْػَأ (a’raj) untuk menunjukkan makna pincang (tunadaksa). Terdapat 38 ayat yang tersebar dalam 26 surat, 17 diantaranya adalah surat-surat Makkiyah, sedangkan 9 surat lainnya adalah Madaniyah. Dari jumlah itu, hanya ada 5 ayat yang berbicara mengenai cacat fisik, dan selebihnya berbicara mengenai cacat non fisik (hati dan teologis). Dari kajian ini, didapatkan kesimpulan bahwa penyandang cacat dalam konsep al Qur’an adalah orang-orang yang memiliki kecacatan fisik dan teologis. Keberadaan penyandang cacat fisik menurut al Qur’an secara umum adalah sama dengan individu normal lainnya dalam sosial dan hukum. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi memiliki kekhususan sebagai bentuk perlindungan. Sedangkan para penyandang cacat teologis dikecam keberadaannya oleh al Qur’an.