Daftar Isi:
  • Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai masalah radd diberikan kepada siapa saja sesuai dengan kata-kata “sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka”, maksudnya sisa harta sesudah diberikan hak masing-masing ahli waris jikamasih ada sisa, termasuk kepada suami atau istri. Padahal madzhab fiqh terkhusus mazhab Syafi’i sebagai mazdhab mayoritas umat Islam di Indonesia membagi harta sisa warisan (radd) seluruh ahli waris tetapi dikecualikan bagi suami atau istri.Bagaimana konsep Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan madzhab Syafi’i tentang masalah radd dalam hukum waris? Bagaimana analisa terhadap konsep radd Kompilasi Hukum Islam (KHI) menurut Syafi’iyyah? Dua hal inilah yang menjadi latar belakang sekaligus permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menelaah konsep radd dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan madzhab Syafi’i dan analisa terhadapnya menurut konsep Syafi’iyyah. Jenis Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, analitif, kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan atau observasi literatur yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas. Sumber utama dalam penelitian ini adalah: Kompilasi Hukum Islam (KHI), kitab al-Umm karya Imam Syafi’i dan al-Hawi al-Kabir karya Imam alMawardi.Sedangkan bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku yang memiliki korelasi dan relevansi dengan judul penelitian. Hasil penelitian adalah Kompilasi Hukum Islam memahami bahwa radd itu harus diberikan kepada ahli waris tanpa pembatasan, artinya suami atau istri menjadi dapat bagian dari sisa harta warisan yang sudah dibagikan (radd) ke seluruh ashabul furudh.Adapun alasan yang dikemukakan adalah pendapat Ustman bin ‘Affan, suami atau istri dalam kekurangan harta waris (masalah ‘aul) ikut serta menanggung bagian yang diambil oleh ahli waris supaya bisa mencukupi pembagian warisan, dan tujuan dibentuknya hukum untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat. Menurut Syafi’iyyah (al-Muzani, alMawardi)berpendapat radd diberikan kepada ashabul furudh secara nasab, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri yang disebabkan hukum. Adapun mengenai radd ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan secara rinci di dalam pasal 193 tersebut tentang kepada siapa saja harta radd itu diberikan serta berapa kadar yang mesti diberikan kepada dzawil furudh.