Daftar Isi:
  • Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang Hak Ruju’ Suami dalam Perceraian karena Khulu dan Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi’i. Penelitian ini berupa penelitian pustaka (library research). Sedangkan metode pengumpulan data bersumber dari bahan primer yang diambil dari sumber aslinya dari kitab al-Umm dan juga dari bahan sekunder yang ada hubunganya dengan pembahasan dari kitab-kitab fiqih, ushul fiqih, hadis dan tafsir serta dari bahan tersier seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode diskriptif dan analisis konten. Dari hasil penelitian tentang status perceraian karena khulu’ dapat dikemukakan, bahwa bila seorang isteri telah melakukan khulu’ terhadap suaminya, maka dengan khulu’ tersebut bekas isteri menguasai dirinya sendiri secara penuh, suami tidak berhak meruju’nya kembali. Segala urusan berada di tangan bekas isteri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya guna melepaskan dirinya. Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm membolehkan ruju’ bagi suami yang telah menjatuhkan talaq secara khulu’ kepada istri yang dalam keadaan safihah, dan beliau berpendapat orang yang safih masih dalam kekuasaan currator. Istinbat hukum yang beliau gunakan dalam permasalahan mahjur mengambil dasar Q.S. al-Baqarah ayat 282 dan Q.S. an-Nisa ayat 6, beliau menetapkan kondisi kanak-kanak, orang lemah akalnya, anak yatim dan safih ditaruh di bawah kekuasaan wali. Pendapat Imam Syafi’i tersebut bila diterapkan di Indonesia, penulis rasa kurang tepat, mengingat kondisi sosial masyarakat muslim Indonesia berbeda dengan kondisi di era beliau, adapun perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talaq dan tidak dapat diruju’ kembali, akan tetapi imam Syafi’i memperbolehkan suami untuk meruju’ bekas istrinya.