KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BATIK DI KABUPATEN KLATEN, QUO VADIS?
Main Authors: | Nugroho, Prihadi, Tyas, Wido Prananing, Damayanti, Maya |
---|---|
Other Authors: | Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro |
Format: | Article info application/pdf Journal |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Diponegoro University
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/tataloka/article/view/2300 https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/tataloka/article/view/2300/pdf |
Daftar Isi:
- Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Klaten secara resmi mempromosikan industri batik lokal melalui Surat Edaran Bupati Klaten No. 025/575/08 tentang Uji Coba Penggunaan Pakaian Dinas Lurik/Batik Khas Daerah. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Kepala BAPPEDA Kabupaten Klaten No. 050/08/09/2012 tentang Pembentukan 11 Klaster di Kabupaten Klaten, termasuk klaster batik. Selanjutnya, Bupati Klaten mengeluarkan Surat Keputusan No. 065/1154/2013 tentang Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten yang mewajibkan PNS Daerah mengenakan pakaian batik dua kali seminggu. Secara formal, ketiga kebijakan ini menjadi payung hukum untuk memajukan pengembangan industri batik Klaten. Pada kenyataannya, industri batik Klaten hingga kini belum memiliki arah pengembangan yang jelas dan terukur, dan relasi di antara pemangku kepentingan terkait kurang terkoordinasi harmonis. Kelembagaan vertikal yang ada didominasi kepentingan pemerintah daerah yang berorientasi proyek jangka pendek. Sementara itu, kelembagaan horizontal pada tataran akar rumput belum berhasil memadukan usaha batik dari hulu ke hilir secara bersama-sama. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi kesenjangan antara kebijakan dan kebutuhan aktual pengembangan industri batik lokal. Metode penelitian campuran dengan strategi sekuensial eksplanasi digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis tren perkembangan industri batik lokal dan karakteristik kelembagaan yang terbentuk. Luaran penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah cenderung mengejar brand image batik Klaten sebagai produk unggulan dan media kampanye pariwisata daerah. Sebaliknya, pengusaha dan pengrajin batik lokal masih berkutat dengan masalah inefisiensi dan keberlanjutan produksi di dalam iklim persaingan yang tidak kondusif dan kerjasama antarindustri yang rendah. Peran aktor eksternal nonpemerintah diperlukan untuk menjembatani konflik kepentingan yang terjadi seraya meminimalkan intervensi pemerintah daerah yang berlebihan.