Pembagian harta waris masyarakat adat minangkabau Nagari koto gadang vi koto kecamatan tanjung raya Kabupaten agam sumatera barat (tinjauan pengaruh hukum adat dan hukum islam ditengah masyarakat Matrilineal)

Main Author: Dartunis, .
Format: Lainnya NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: Universitas Pamulang , 2017
Subjects:
Online Access: http://eprints.unpam.ac.id/3545/1/COVER.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/2/BAB%20I.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/3/BAB%20II.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/4/BAB%20III.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/5/BAB%20IV.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/6/BAB%20V.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/7/JURNAL.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3545/
Daftar Isi:
  • ABSTRAK Disusun oleh : Dartunis NIM : 2013020381, Dalam budaya Minangkabau dikenal harta pusako tinggi dan harta pusako rendah. Harta pusako tinggi adalah warisan turun temurun dari pihak keluarga perempuan yang tidak boleh sembarangan digadaikan. Sedangkan harta pusako rendah merupakan harta dari hasil jerih payah seseorang. Warisan harta pusako tinggi dalam adat Minang hanya diturunkan kepada kaum perempuan. Dengan adanya aturan ini maka pada akhirnya dalam adat Minangkabau, anak lelaki tidak akan mendapatkan bagian harta warisan pusako tinggi. Ditetapkannya seorang perempuan menjadi ahli waris bagi pusako tinggi membuat sistem pembagian waris yang ditetapkan masyarakat Minangkabau menjadi berbeda dengan hukum waris Islam yang diatur berdasarkan nasab ayah. Skripsi ini menguraikan bagaimana sesungguhnya sistem pembagian waris yang berlaku ditengah masyarakat matrilineal Minangkabau yang tinggal di Koto Gadang VI Koto dan seperti apa upaya penyelesaian sengketa waris yang terjadi ditengah masyarakat. Dalam melakukan penelitiannya penulis menggunakan tehnik wawancara untuk memperoleh data kualitatif yang digunakan sebagai dasar penulisan skripsi ini. Masyarakat Minangkabau menjalankan asas kekerabatan Matrilineal dimana keturunan ibu mendapatkan hak lebih besar dari keturunan laki-laki terkait harta waris turun temurun atau adat (hak ulayat). Dalam mekanisme peralihan harta warisan turun temurun (hak ulayat) berlaku asas kolektif dimana terdapat sejumlah prosedur yang mesti dilalui sebelumnya. Seiring dengan masuknya agama Islam di Minangkabau yang didalamnya berisi ajaran dan aturan yang berbeda dengan adat suku minang terkait hak waris telah memberikan pemahaman baru terhadap sistem pembagian harta yang ada di dalam sebuah keluarga atau keturunan yang sesuku ditengah masyarakat adat Koto Gadang VI Koto. Meski demikian agama Islam dan adat minangkabau telah menyatu dalam tingkah laku suku bangsa Minangkabau. Ajaran Islam memberikan istilah baru terhadap harta yang diperoleh suami-istri selama melangsungkan perkawinan sebagai harta pencarian sehingga sistem pembagiannya tidak melanggar ketentuan adat Minangkabau. Terkait proses pemindahan hak ulayat atas harta pusako tinggi yang merupakan harta Bersama, maka ketika hendak diperjualbelikan pun harus ada kesepakatan bersama dari kaum yang sasuku saparuik. Harta tersebut bisa dan boleh boleh diperjual-belikan ketika adanya kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat tiap anggota suku tersebut. Pandangan hukum Islam pun membolehkan penjualan harta warisan turun temurun selama proses jual-beli tersebut sesuai dengan ketentuan rukun dan syarat jual beli yang telah diatur dalam hukum Islam.