Penerapan prinsip iktikad baik (good faith) dan first to file system dalam sengketa merek di pengadilan niaga ditinjau dari undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek sebagaimana telah diganti dengan undang-undang nomor 20 tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis (analisis putusan nomor 162 k/pdt.sus-hki/2014)

Main Author: Gusti Andini Putri Utami, .
Format: Lainnya NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: Universitas Pamulang , 2017
Subjects:
Online Access: http://eprints.unpam.ac.id/3010/1/COVER.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/2/BAB%20I.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/3/BAB%20II.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/4/BAB%20III.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/5/BAB%20IV.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/6/BAB%20V.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/7/JURNAL.docx
http://eprints.unpam.ac.id/3010/
Daftar Isi:
  • ABSTRAK GUSTI ANDINI PUTRI UTAMI, 2013020943, ILMU HUKUM, PENERAPAN PRINSIP IKTIKAD BAIK (GOOD FAITH) DAN FIRST TO FILE SYSTEM DALAM SENGKETA MEREK DI PENGADILAN NIAGA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK SEBAGAIMANA TELAH DIGANTI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS (Analisis Putusan Nomor 162 K/Pdt.Sus-HKI/2014). Dalam kaidah pengaturan Hak atas Kekayaan Intelektual, merek berfungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum lain. Hak merek pun merupakan hak yang bersifat khusus. Hak khusus tersebut pada dasarnya bersifat eksklusif dan monopolistik di mana hanya pemilik hak yang dapat melaksanakan dan menikmati hak khusus tersebut, sedangkan orang lain tidak boleh menggunakannya tanpa seizin pemiliknya. Jika dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai jaminan hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan pilihan-pilihan barang yang akan dibeli. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis menganut sistem konstitusif dengan prinsip first to file system. Dalam pendaftaran merek dengan sistem Konstitutif, pendaftaran merek merupakan keharusan agar dapat memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran, negara tidak akan memberikan hak atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek, seseorang tidak akan diberikan perlindungan hukum oleh negara apabila mereknya ditiru oleh orang lain. First to file system berarti bahwa pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk mendapatkan pendaftaran merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah. Dalam sistem Konstitutif tersebut, pendaftar merek yang bersangkutan haruslah beriktikad baik (good faith) agar mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia, apabila pendaftar merek tersebut merupakan pendaftar yang beriktikad tidak baik (bad faith), maka perlindungan merek atas pendaftaran yang beriktikad tidak baik (bad faith) tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga bagi merek yang belum terdaftar. Didalam memutus suatu perkara merek, Pengadilan atau Hakim seringkali tidak konsisten. Misalnya pada kasus merek yang akan penulis bahas disini. Para penegak hukum dalam bidang merek bahkan saling bertentangan satu sama lain sehingga para pelaku usaha dianggap proaktif dalam mempertahankan merek miliknya. Masalah tersebut tentu menjadi masalah serius bagi penegakan hukum merek, karena mencerminkan rasa ketidakpastian hukum dan jaminan atas rasa perlindungan yang wajib dijunjung tinggi oleh Negara.