PARADIGMA JILBAB DULU DAN SEKARANG
Main Author: | Badwi, Ahmad |
---|---|
Format: | Article info Journal |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Makassar (UIM), Indonesia
, 2019
|
Online Access: |
http://journal-uim-makassar.ac.id/index.php/ASH/article/view/140 http://journal-uim-makassar.ac.id/index.php/ASH/article/view/140/104 |
Daftar Isi:
- The term of “jilbab” means loose of clother which is able to cover a woman’s part of bodies which may not be visibe while perfoming a ritual except face and two palms a hands, so circle that can be seen. Etimologically, jilbab is a masdar (gerund) formed from verb “jalaba” which means ‘to bring” bring” or “to collect”. Its plural form is “jalabin”. It menas auter garment, mantle, and cloack that can cover all wamen’s bodies. Jilbab means also, specially when the Qur’an revealed, is a clother that covers bodies from up to down, a long cover of head, covering blanket, the second layer. Jilbab of course, for women has a main purpose to cover women’s part of bodies, in order to be safe from an interaction and a relation between a man and a woman from illegal relation according to view of view of Islamic law. Jilbab has also purposes to show a woman’s simplicity and core personal values, and to protect herself from many possinilities in a life that related to unhoped thing. Secara harfiah, jilbab berarti pakaian yang luas atau lapang dan dapat menutup aurat perempuan, kecuali muka dan kedua telapak tangan sehingga pergelangan saja yang ditampakkan. Beberapa sinonimnya yang lebih tertutup adalah yang sudah dikenal dalam masyarakat adalah Hijab, Khimar, dan Niqob atau burqo’ (cadar). Hukum Jilbab menurut pandangan ulama Klasik adalah wajib yang berbeda adalah sikap atau cara mereka dalam menutup aurat. Di sisi sebagian Ulama berpendapat seluruh tubuh harus tertutup, sementara disisi lain ada yang berpendapat mengecualikan muka dan telapak tangan atau bahkan sampai batas siku. Hukum Jilbab menurut pandangan ulama Kontenporer sebagaian tetap mengikuti ulama klasik namun ada sebagian ulama/cendekiawan Islam lebih melihat dari segi kontektual ayat termasuk latar belakang sosio-historis dan kondisi geografis yang menjadikan jilbab dikenal pada masa Rasulullah Saw. Yang pasti para Ulama’ sepakat bahwa menutup aurat cukup dengan kain yang tidak transparan sehingga warna kulit tidak tampak dari luar dan juga tidak ketat yang membentuk lekuk tubuh, sebab pakaian yang ketat atau yang transparan demikian tidak bisa mencegah terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual) bagi laki-laki yang memandang secara sengaja atau tidalk sengaja.