Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006
Main Author: | Martunis |
---|---|
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
|
Daftar Isi:
- Adanya interaksi pelaku usaha dengan konsumen, bisa saja menimbulkan suatu konflik diantara para pihak. Yang perlu kita perhatikan ialah, terkadang posisi konsumen tidak seimbang dengan posisi pelaku usaha yang dalam hal ini lebih dominan mulai dari segi sosial maupun finansial. Disinilah peran BPSK hadir sebagai penengah sekaligus pelerai atas konflik yang terjadi antara kedua belah pihak tersebut. Cara yang dapat digunakan oleh badan tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi ada 3 macam. Yaitu mediasi, konsiliasi dan juga arbitrase yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Undang-undang ini juga dibentuk guna menyeimbangan posisi antara pelaku usaha dengan konsumen yang sering kali lebih tinggi, sehingga dalam penyelesaianya dapat lebih adil. Bahkan guna menjamin efektivitasnya norma dalam undang-undang Perlindungan konsumen tersebut menegaskan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh BPSK bersifat final and banding. Namun sayangnya pada pasal 56 ayat (2) memberikan peluang kepada para pihak untuk tetap mengajukan keberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh BPSK. Pengajuan atas keberatan tersebut diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2006, yang memberikan penegasan bahwa pengajuan keberatan hanya dapat diajukan atas putusan arbitrase dari BPSK itu sendiri. Berbicara terkait dengan arbitrase tentu tidak terlepas dari ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa putusan arbitrase juga bersifat final dan mengikat, walau terdapat pengajuan pembatalan, namun pengajuanya pun dibatasi pada pasal 70 undang-undang tersebut. Namun hal ini tidak berlaku bagi putusan arbitrase BPSK. Sebab ketentuan pada pasal 6 ayat (5) pada Perma No. 1 Tahun 2006 telah memberikan keleluasaan para pihak untuk mengajukan keberatan, sehingga pengaturan tersebut sangat tidak sesuai dengan ketentuan UU Arbitrase dan juga UU Perlindungan konsumen. Disinilah peneliti ingin menganalisis lebih dalam terkait dengan adanya ketentuan tersebut. Bagaimana bisa ketentuan yang sebelumnya ditetapkan sebagai putusan yang final dan mengikat namun tetap memiliki upaya dalam pembatalan yang bahkan tidak dibatassi secara konkret. Padahal nomenklatur yang digunakan ialah arbitrase, yang mana alasan atas pengajuan pembatalanya saja dibatasi oleh undang-undang.