Fenomena Nikah Misyār Perspektif Pemikiran Hukum Islam
Main Author: | Kasim, Dulsukmi |
---|---|
Format: | Article info application/pdf eJournal |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://www.journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am/article/view/1038 https://www.journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am/article/view/1038/1009 |
Daftar Isi:
- This article discusses about the misyār marriage as considered a model of marriage by some to be odd because it is different from the normal model of marriage that is carried out by a married couple who are Muslim in general. This type of research is descriptive qualitative which is examined by the approach of Islamic law. The results of the study show that the conditions and pillars of marriage are indeed fulfilled, the functions and responsibilities of the husband and wife continue to run normally and are not limited by time. Both parties intend and commit to perpetuating the marriage together forever. However, in practice the wife or woman is the dominant role in realizing the marriage to the point that she does not demand her husband to fulfill his basic rights after marriage later. The trigger for this marriage is the great desire of wealthy women who are financially well-established to get a mate and a place to devote affection from themselves and their children. Viewed in terms of the motivation for the marriage to take place by both parties there is no problem.
- Nikah misyār dianggap sebagai model pernikahan yang oleh sementara orang dinilai ganjil karena berbeda dengan model pernikahan yang normal yang dijalani oleh pasangan suami istri yang beragama Islam pada umumnya. Meski demikian, pernikahan ini tetap banyak terjadi dan dijalankan oleh para pasangan suami istri di berbagai Negara, tidak terkecuali Indonesia. Nikah misyār merupakan pernikahan rahasia yang umumnya tidak tercatat di KUA. Syarat dan rukun nikahnya memang terpenuhi, fungsi dan tanggung jawab suami istri pun tetap berjalan secara normal dan tidak dibatasi oleh waktu. Kedua pihak tetap berniat dan berkomitmen untuk sama-sama melanggengkan pernikahan tersebut selamanya. Hanya saja, dalam prakteknya pihak istri atau wanitalah yang lebih dominan berperan dalam mewujudkan pernikahan tersebut sampai-sampai ia tidak menuntut suaminya untuk memenuhi hak-hak dasarnya sesudah menikah nanti. Pemicu terjadinya pernikahan ini adalah keinginan besar para wanita kaya raya yang sudah mapan secara finansial untuk mendapat teman hidup dan tempat mencurahkan kasih sayang dari dirinya dan anak-anaknya. Dilihat dari segi motivasi dilangsungkannya pernikahan ini oleh kedua belah pihak tidak ada masalah. Dari segi isi akad dan proses pelaksanaan pun berjalan sesuai petunjuk syara’. Hanya saja, sebaiknya pernikahan seperti ini dicatatkan dan tidak dirahasiakan. Kalau pun tidak dicatat dan tetap dirahasiakan pernikahannya tetap sah. Sebagaimana mayoritas ulama menyepakati mengenai sahnya nikah misyār. Namun, sebagai bentuk upaya preventif dan perlindungan pada wanita dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut, maka dengan menggunakan dalil sadd al-dzarī’ah disarankan kepada pelakunya agar pernikahan tersebut tetap didaftarkan di KUA sebagai bentuk ketaatan pada pemerintah dan agama agar mendapat legalitas formal demi menghindari terjadinya pengaburan nasab dan pengaburan status kewarisan antara ahli waris dan anggota keluarga kedua pasangan nantinya.