KEWAJIBAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) MEMBUKA INFORMASI KEUANGAN TERKAIT SERTIFIKASI HALAL KE PUBLIK DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 SERTIFIKASI HALAL KE PUBLIK DI TINJAU DARI UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Main Authors: ZAUKI, AMRUN, Ardilafiza, Ardilafiza, Elektison, Somi
Format: Thesis NonPeerReviewed Archive
Bahasa: eng
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: http://repository.unib.ac.id/15708/1/SKRIPSI.pdf
http://repository.unib.ac.id/15708/
Daftar Isi:
  • Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi satu-satunya organisasi yang dapat melakukan kegiatan sertifikasi halal di Indonesia. Selain mendapat dukungan dari Pemerintah, MUI mendapat kepercayaan dari masyarakat karena merupakan wadah berkumpulnya Ulama seluruh Indonesia yang kemudian dipandang mewakili seluruh aspirasi seluruh Ulama Indonesia. Dengan adanya dukungan dan kepercayaan dari Pemerintah dan masyarakat ini kemudian MUI dapat melakukan sertifikasi halal. Dalam melakukan kegiatan sertifikasi halal, MUI diketahui menerima sejumlah dana dari proses sertifikasi halal tersebut, mulai dari pendaftaran permohonan sertifikat halal hingga sertifikat halal diterbitkan semuanya dibebankan biaya. Beban biaya tersebut dibebankan kepada pihak yang memohon sertifikat halal tersebut. Dalam prosesnya ini kemudian beberapa pihak meminta MUI untuk terbuka terkait dana yang dihimpun melalui kegiatan sertifikasi halal ini. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi dasar pihak tersebut mendesak MUI untuk membuka informasi keuangan terkait sertifikasi halal tersebut. Namun karena di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tersebut terdapat multi tafsir dalam beberapa Pasal, menjadikan MUI merasa tidak memiliki kewajiban untuk membuka informasi keuangan tersebut.