Daftar Isi:
  • Tesis ini membahas pemaknaan khalayak terhadap program acara Indonesia Punya Cerita di Trans TV terkait dengan permasalahan identitas keindonesiaan dalam tayangan televisi. Indonesia Punya Cerita dipilih karena program acara ini menjadi bagian dari sedikit tayangan televisi yang tidak semata-mata berorientasi pasar - meski pada prinsipnya sebagai bagian dari bisnis televisi, setiap program acara harus bisa dijual dan menghasilkan keuntungan - namun masih mengusung tema-tema nasionalisme dan kan dengan keindonesiaan dalam penayangannya. Tayangan Indonesia Punya Cerita ini juga memiliki gaya pengemasan yang berbeda dibandingkan dengan program acara sejenis lainnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data terhadap para informan dengan beraneka ragam latar belakang sosio kultural. Informasi yang didapat kemudian dianalisa dengan metode analisis resepsi encoding decoding dari Stuart Hall yang kemudian membaginya dalam tiga posisi pemaknaan, yaitu dominan hegemonik, negosiasi dan oposisi. Hall memaknai encoding decoding sebagai serangkaian proses produksi pesan yang didistribusikan melalui media oleh produser pesan untuk dikonsumsi khalayak. Encoding diartikan sebagai proses analisa dari konteks sosial politik dimana konten diproduksi, dan decoding adalah proses konsumsi dari suatu konten media. Dalam penelitian menggunakan metode analisis resepsi, khalayak dipandang sebagai bagian dari interpretative communities yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak sekedar menjadi individu pasif yang menerima begitu saja makna yang disodorkan kepadanya. Jadi khalayak adalah producer of meaning atau produser makna yang aktif menciptakan makna. Hasil penelitian menunjukan pada umumnya para informan berada pada posisi oposisi dalam memaknai program acara Indonesia Punya Cerita terkait dengan identitas keindonesiaan dalam tayangan televisi. Menarik disini adalah bukan hanya informan berlatar belakang pendidikan pascasarjana yang memaknai secara oposisi, melainkan pula informan dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah. Bagi para informan, program acara Indonesia Punya Cerita hanya sebuah tayangan belaka atau tontonan biasa.