Subcutaneous mycosis at the Department of Dermatology and Venereology dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta, 1989-2013
| Main Authors: | Sammy Yahya, Sandra Widaty, Eliza Miranda, Kusmarinah Bramono, Artini Wijayanti Islami |
|---|---|
| Format: | application/pdf Journal |
| Bahasa: | eng |
| Terbitan: |
Universitas Indonesia
, 2016
|
| Online Access: |
http://jgenprodvi.ui.ac.id/index.php/jdvi/article/view/30 http://jgenprodvi.ui.ac.id/index.php/jdvi/article/download/30/94 |
Daftar Isi:
- Abstract Introduction: Subcutaneous mycosis (SM) is a fungal infection involving dermis and subcutaneous tissue, which can disseminate slowly through systemic blood or lymphatic circulation. The subacute or chronic infection usually found in workers of rural tropical and subtropical area. SM occurs due to trauma along with other predisposing factors such as sex, genetic and occupation. Aim: To identify the types of SM, its clinical findings, laboratory work-up and the treatment at the Dermatomycology Division, Department of Dermatology and Venereology dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital between the year 1989 and 2013. Method: This retrospective study collected data from medical records and case reports of patients with SM who came at Department of Dermatology and Venereology dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital (1989-2013). Results: We found 16 cases of SM, i.e. subcutaneous mucormycosis (5 cases), eumycetoma (4 cases), actinomycetoma (4 cases) and chromoblastomycosis (3 cases). There was a greater number of male than female patients ratio (3:1) and mostly were in the age group of 25-44 years. The direct microscopic examination did not reveal any fungal element, except for black spora in chromoblastomycosis (1 case). The culture revealed Basidiobolus ranarum in subcutaneous mucormycosis (5 cases), Nocardia transvalensis in actinomycetoma (1 case) and Phialophora sp. in 1 case of chromoblastomycosis. On histopathological examination, we found fine granules of actinomycetoma, sulphuric granules of actinomycetoma, coenocytic hyphae of subcutaneous mucormycosis, eosinophilic granule in 1 case of mycetoma and hyphae with black spore in chromoblastomycosis. Conclusion: SM is still a rare disease, comprehensive management of SM needs supporting laboratory work-up, particularly the histopathological examination. Keywords: Mycosis, subcutaneous, culture, histological Abstrak Pendahuluan: Mikosis subkutan (MS) merupakan infeksi jamur yang melibatkan dermis dan jaringan subkutan, dapat berdiseminasi lambat secara hematologik atau limfatik. Kelainan bersifat subakut maupun kronik, umumnya ditemukan pada pekerja didaerah pedesaan beriklim tropis dan subtropis. Mikosis subkutan terjadi akibat trauma yang memudahkan inokulasi mikroorganisme penyebab kedalam kulit. Faktor predisposisi lain adalah jenis kelamin, genetik, dan pekerjaan. Tujuan: Mengetahui jenis MS, temuan klinis, pemeriksaan penunjang, serta terapinya di Divisi Dermatomikologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (IKKK RSCM) periode1989-2013. Metode: Data dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis dan laporan kasus pasien MS yang datang berobat di Departemen IKKK RSCM (1989-2013). Hasil: Didapatkan 16 kasus MS yaitu mukormikosis subkutan (5 kasus), eumisetoma (4 kasus), aktinomisetoma (4 kasus), dan kromoblastomikosis (3 kasus). Pasien pria lebih banyak daripada wanita (3:1) dengan kelompok usia terbanyak pada rentang 25-44 tahun. Umumnya pemeriksaan mikroskopik langsung tidak ditemukan elemen jamur, kecuali spora hitam pada kromoblastomikosis (1 kasus). Pada pemeriksaan kultur ditemukan Basidiobolus ranarum pada mukormikosis subkutan (5 kasus), Nocardia transvalensis pada aktinomisetoma (1 kasus), serta Phialophora sp. pada 1 kasus kromoblastomikosis. Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan granul halus pada 1 kasus aktinomisetoma, granul sulfur pada 2 kasus aktinomisetoma, hifa coenocytic pada 1 kasus mukormikosis subkutan, granul eosinofilik pada 1 kasus misetoma, serta hifa dan spora hitam pada kasus kromoblastomikosis. Kesimpulan: MS masih mrtupoakan penyakit yang jarang ditemukan. Tatalaksana komprehensif MS memerlukan pemeriksaan penunjang yang mendukung terutama didapatkan dari pemeriksaan histopatologik. Katakunci: Mikosis, subkutan, kultur, histologi