HUKUM PERNIKAHAN SYARIFAH DENGAN LAKI-LAKI NONSAYYID: Perspektif Jam‘iyyah Rabithah Alawiyyah Yogyakarta
Main Author: | Fattah, Nurul |
---|---|
Format: | Article info application/pdf Journal |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
, 2016
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/06202 http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/06202/991 |
Daftar Isi:
- According to islamic law the marriage considered have been permitted if have fulled the requirement. But, thereare other rules which must full. According to book of clasic fiqih, kafâ’ah concept is match from men to female inmany kinds of things which have discussed by the majority of Ulama including religion, descendant, job andfreedom. The status of kafa’ah is a matter to be considered and recommended for a person before entering the levelof marriage the status kafâ’ah will change to be terms marriage when. There is no bessing from the guardian fromthis concept that gave birth to the the legal prohibition of marriage between Syareefah with non-sayyid. Theprohibition can be seen from main factor. There is Syareefah considered that is not on level and damage or break thedecendants of the Prophet Muhammad to marry a men who is not on level. In general, the majority of Habâibamong Jam’iyyah Rabithah Alawiyyah Yogyakarta banned and no blessing if there feemale children to marry nonsayyidmen.[Pernikahan menurut hukum Islam dianggap sah jika telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan.Tetapi terdapat pula aturan lain yang harus dipenuhi menurut literatur kitab-kitab fiqih klasik yaknikonsep kafâ’ah yaitu kesepadanan dari pihak laki-laki kepada pihak wanita dalam berbagai hal yangtelah disepakati oleh mayoritas Ulama’, diantaranya adalah: agama, nasab, pekerjaan dan merdeka.Status kafâ’ah dalam pernikahan merupakan suatu hal yang dipertimbangkan dan anjuran bagiseseorang sebelum memasuki jenjang pernikahan, status kafa’ah akan berubah menjadi syaratpernikahan ketika tidak ada ridho dari wali. Dari konsep inilah kemudian melahirkan adanya hukumpelarangan pernikahan antara Syarifah dengan laki-laki non-sayyid, pelarangan tersebut dapat ditinjaudari dua faktor, yaitu: pertama, seorang Syarifah dianggap tidak sekufu’ dan merusak atau memutusnasab keturunan Rasulullah jika menikah dengan laki-laki non-sayyid dan kedua, tidak adanya ridhodari wali ketika anak wanitanya menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’. Pada umumnyamayoritas Habâib dikalangan Jam’iyyah Rabithah Alawiyyah Yogyakarta melarang dan tidak ridhojika anak wanita mereka menikah dengan laki-laki non-sayyid.]