Daftar Isi:
  • Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi,dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum. Untuk mengatasi masalah tersebut beberapa waktu yang lalu Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur tentang penerapan asas pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi, yang kemudian rencana tersebut ternyata diubah dengan rencana untuk mengajukan RUU untuk mengamandemen Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana di dalam RUU tersebut memuat penerapan asas pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. ” Dalam asas pembuktian terbalik ketentuan tersebut secara terang-terangan disimpangi, karena Hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction-in time (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata). Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asas lex specialist derogat lex geneali. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara