Esensi makna budaya tuang sampeu (makan singkong) yang dilandasi tata ruang lahan leuweung (hutan) sebagai perwujudan adaptasi masyarakat adat kampung Cireundeu Kota Cimahi Jawa Barat / Chandra Adiputra
Main Author: | Adiputra, Chandra |
---|---|
Other Authors: | 1. Budijanto ; 2. Dwiyono Hari Utomo ; 3. Budi Handoyo |
Format: | PeerReviewed |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Universitas Negeri Malang. Program Studi Pendidikan Geografi
, 2021
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://mulok.library.um.ac.id/oaipmh/../home.php?s_data=Skripsi&s_field=0&mod=b&cat=3&id=107966 |
Daftar Isi:
- Pola pangan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Provinsi Jawa Barat adalah belum makan apabila nasi belum dikonsumsi. Namun budaya tuang sampeu (makan singkong) justru dilestarikan oleh masyarakat adat Cireundeu meski mereka tinggal di wilayah Provinsi Jawa Barat. Budaya tersebut diwujudkan dalam bentuk mengonsumsi rasi (beras singkong) sebagai pangan pokoknya. Singkongnya diperoleh dari lahannya sendiri dengan tata ruang lahan leuweung (hutan) yang khas leuweung larangan (hutan lindung) leuweung tutupan (hutan penyangga) dan leuweung baladahan (hutan garapan). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk meneliti tentang esensi makna budaya tuang sampeu yang dilandasi tata ruang lahan leuweung sebagai perwujudan adaptasi masyarakat adat Kampung Cireundeu Kota Cimahi Jawa Barat. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam observasi partisipan studi dokumentasi diskusi kelompok terfokus (FGD) serta survei tanah. Analisis data dilakukan melalui reduksi data penyajian data penarikan kesimpulan/verifikasi uji tanah uji kesesuaian lahan untuk tanaman singkong di wilayah Kampung Cireundeu serta uji gizi singkong dan produk olahannya. Pengecekan keabsahan data dilakukan melalui triangulasi data pengecekan anggota serta audit eksternal. Esensi makna budaya tuang sampeu adalah tradisi pola pangan nonberas (singkong sebagai pangan pokok) yang implementasinya dilakukan melalui aktivitas pertanian singkong pengolahan singkong menjadi rasi melalui nyampeu konsumsi pangan nonberas serta edukasi ketahanan pangan di lingkungan Kampung Cireundeu. Budaya ini didukung dengan kondisi masyarakat baik nyampeu sebagai teknologi pengolahan singkong khas masyarakat adat Cireundeu maupun enam alasan mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok. Akan tetapi budaya ini tidak didukung dengan kondisi fisik karena kondisi lahannya tidak sesuai untuk tanaman singkong. Faktor pembatasnya adalah kondisi drainase kemiringan lereng bahaya erosi dan curah hujan. Fakta geografis ini membantah pandangan fisis determinisme sekaligus meneguhkan pandangan posibilisme. Dengan demikian pembangunan ketahanan pangan perlu didukung dengan (1) uji kesesuaian lahan untuk tanaman pangan yang dikonsumsi meski hasil evaluasinya belum tentu dapat dijadikan sebagai rujukan utama dalam membangun ketahanan pangan berbasis kearifan lokal (2) tata ruang lahan hutan yang baik (hutan terbagi menjadi hutan lindung penyangga dan garapan) serta (3) perhatian terhadap kearifan lokal baik aktivitas produksi teknologi pengolahan pangan tradisi pola pangan (termasuk unsur sejarahnya) maupun edukasi ketahanan pangan.