ASTADASAPARWA DAN KAKAWIN BHARATAYUDDHA SEBAGAI SUMBER LAKON WAYANG KULIT PURWA DI BALI
Main Author: | I Dewa Ketut , Wicaksana |
---|---|
Format: | Article PeerReviewed application/pdf |
Terbitan: |
ISI Denpasar
, 2004
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repo.isi-dps.ac.id/427/1/1._I_Dewa_Ketut_Wicaksana.pdf http://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/wayang/article/view/230 http://repo.isi-dps.ac.id/427/ |
Daftar Isi:
- Astadasaparwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos Mahabharata dalam bahasa Sanskerta, kemudian dibahasa-jawakan dalam bentuk puisi (kakawin) menjadi Bharatayuddha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, dua orang pujangga yang hidup pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh pada abad ke-10. Kalau diamati, hasil karya sastra Jawa Kuna baik yang berbentuk parwa maupun yang berbentuk kakawin jelaslah merupakan hasil karya sastra yang diilhami oleh ajaran agama Hindu. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kesenian wayang, khususnya wayang kulit parwa yang paling mutlak menjadikan teks Astadasaparwa dan Kakawin Bharatayuddha sebagai sumber lakon atau lampahannya, makanya dalam tradisi pewayangan teks ini sering disebut sebagai lakon/lampahan pakem (baku/pokok). Bahkan ada sebuah tradisi bagus dalam proses pembelajaran atau mulai menekuni pakeliran pada salah satu desa di Sukawati, Gianyar, yakni setiap dalam pemula diharuskan menguasai wayang kulit parwa dengan ceritera-ceritera sumber (lakon baku) seperti yang ada pada teks Astadasaparwa dan kakawin Bharatayuddha.