Nilai-nilai Islam pada praktek merari’adat masyarakat Suku Sasak Lombok NTB
Main Author: | Sainun, Sainun |
---|---|
Other Authors: | Masnun, Masnun, Satriawan, Lalu Agus, Saparudin, Saparudin |
Format: | BookSection PeerReviewed Book |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Mataram
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.uinmataram.ac.id/912/1/912.pdf http://repository.uinmataram.ac.id/912/ |
Daftar Isi:
- Penduduk yang mendiami pulau Lombok sangat beragam, karena penghuni pulau Lombok datang dari hampir seluruh daerah di Indonesia. Masyarakat asli yang mendiami pulau Lombok berasal dari suku Sasak. Suku-suku yang mendiami pulau ini bermacammacam, seperti suku Samawa, suku Bali, suku Sasak, suku Jawa, suku Arab, suku Cina, suku Bugis, dan suku Banjar. Masing-masing suku tersebut mempunyai kebudayaan sendiri. Di antara mereka pada yang fanatik dan tetap berpegang kepada budaya dan adat istiadat mereka masing-masing, dan ada pula yang lebih longgar, bahkan membaur dengan masyarakat setempat, serta mengikuti adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Namun di antara suku-suku tersebut yang dianggap sebagai penduduk asli adalah suku Sasak, sedangkan suku-suku lainnya merupakan sukusuku pendatang. Suku pendatang yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari pulau Sumbawa dan yang terkenal sebagai suku Samawa, pada umumnya bermukim di Lombok Timur. Sementara itu, suku Bali pada umumnya bertempat tinggal di Lombok Barat dan Mataram. Sedangkan suku Arab pada umumnya tinggal di kampung Arab Ampenan,dan sebagian di antara mereka bermukim di Lombok Timur, seperti di Pancor dan Masbagik. Mereka pada umumnya berprofesi sebagai pedagang. Adapun suku Bugis yang pada umumnya terdiri dari nelayan, biasanya tinggal di tepi-tepi pantai seperti di Tanjung Luar, Tanjung Ringgit atau di pesisir sebelah utara gunung Rinjani. Sedangkan orang-orang Cina, yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang, rata-rata tinggal di pusat-pusat pasar. Terkadang suku pendatang ini bertempat tinggal secara berkelompok turun temurun. Masing-masing suku baik suku pendatang maupun suku Sasak Lombok, mempunyai budaya dan adat istiadat sendiri. Pandangan para ahli tentang istilah kebudayaan tersebut bermacam-macam dan pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai dengan latar kehidupan atau lingkungannya. Dalam konteks Indonesia kata kebudayaan nasional itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai serta ajaran agama. Koentjaraningrat mengemukakan: “Istilah “kebudayaan” ada pula istilah “peradaban”. Hal yang terakhir adalah sama dengan istilah Inggris civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan indah, seperti misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks.” Koentjaraningrat, selanjutnya mengemukakan pula bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kata “kebudayaan” menurutnya berasal dari kata Sanskerta: buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang artinya adalah “budi” atau “akal”. Jadi, “kebudayaan”itu dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dengan demikian maka “kebudayaan” itu merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi tindakan, perbuatan dan tingkah laku manusia, serta hasil karyanya yang didapat dari belajar. Adapun isi pokok kebudayaan tersebut, menurut Koentjaraningrat pada prinsipnya terdiri dari tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem ilmu pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Sebagaimana lazimnya suku bangsa yang sedang berkembang, sejak awal pertumbuhannya, suku Sasak mem punyai kebudayaan yang terus mengalami perubahan dan perkembangan, sesuai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut ada kalanya muncul sebagai pengaruh budaya yang datang dari luar, dan ada kalanya muncul dari dalam, baik disebabkan oleh bertambah atau berkurangnya penduduk, dan karena adanya penemuan-penemuan baru, atau karena pengaruh ajaran agama atau kepercayaan tertentu, dan lain sebagainya. Sebelum kedatangan Islam di pulau Lombok, kebudayaan Sasak tampaknya dipengaruhi oleh ajaran agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh masyarakat pada umum nya, seperti Animisme, Dinamisme, Bode, serta Budha dan Hindu. Kebudayaan Sasak tersebut sebagaimana halnya ke budayaan lainnya perlu dipelihara dan dikembangkan. Salah satu khazanah budaya Sasak yang perlu kajian secara konprehensif adalah pelaksanaan adat perkawinan yang dalam istilah sasak disebut dengan “merari’”. Setidaknya, ada delapan tahapan adat yang dilalui dalam prosesi per kawinan masyarakat suku Sasak Lombok. Kedelapan tahapan tersebut adalah: pertama, midang (meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (pertemuan yang di lakukan di tempat kerja, biasannya di sawah ketika si gadis sedang bekerja dan jejaka ikut bekerja bersamanya), dan bejambe’ atau mereweh (pemberian barang oleh laki-laki kepada perempuan untuk memperkuat hubungan); kedua, pihak laki-laki harus “mencuri” (melarikan) calon pengantin perempuan, yaitu secara diam-diam membawa perempuan yang akan menjadi calon istrinya ke tempat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Pelarian ini biasanya kedua orang tua dari kedua belah pihak sudah mengetahui dan merestui hubungan mereka. Ketiga, pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar) . Keempat, pelunasan uang jaminan dan mahar. Pihak laki-laki dituntut untuk membayar uang jaminan kepada pihak keluarga prempuan. Jika pihak laki-laki tidak dapat memberikan uang jaminan, dapat dipastikan perkawinan akan gagal. Kelima, setelah pelunasan pembayaran uang jaminan, baru dilakukan akad nikah dengan cara Islam. Keenam, sorong doe atau sorong serah yakni acara pesta perkawinan atau resepsi pernikahan pada waktu orang tua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-laki, yang semua biayanya menjadi tanggung jawab pihak laki-laki. Ketujuh, nyondolan, yaitu mengantarkan kembali pengantin perempuan pada pihak keluarganya. Biasanya dalam acara ini pasangan pengantin diarak keliling kampung dengan berjalan kaki diiringi musik tradisional (gendang belek dan kecimol). Nyondolan juga merupakan pengumuman bagi masyarakat bahwa telah ada satu pasangan baru di kampung mereka. Sebelum pasangan pengantin dan masyarakat yang mengiringi kedua pengantin ini masuk pintu gerbang keluarga perempuan, terlebih dahulu dilakukan penyelesaian aji krame (penegasan nilai status sosial kedua mempelai) oleh para pemangku adat dari kedua belah pihak. Kedelapan, bales nae, yakni kunjungan pihak pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan setelah acara nyondolan dan aji krame. Bales nae ini bertujuan untuk memperkenalkan semua anggota keluarga terdekat secara khusus. Selanjutnya, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. sejak lima belas abad Hijriyah yang telah lampau sudah berkembang dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Agama ini bersifat universal, berlaku untuk seluruh umat manusia, tidak hanya dipeluk oleh suku bangsa Arab saja, akan tetapi juga oleh berbagai bangsa yang terdapat di dunia, termasuk suku Sasak yang terdapat di pulau Lombok. Islam dalam kaitan ini adalah aktivitas keagamaan sebagai penjelmaan dari nilai-nilai yang ada dalam wahyu, karena Islam sebagai wahyu bukanlah kebudayaan. Faisal Ismail membedakan agama-agama kepada dua macam, yaitu agama samawi dan agama budaya. Yang termasuk agama samawi adalah Islam, Kristen, dan Yahudi. Sementara agama budaya adalah agama selain dari agama samawi, sepeti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Sedangkan bentuk-bentuk interaksi tersebut dapat dilihat melalui praktik Nabi Muhammad saw maupun dalam athar sahabat dalam merespon adat lokal, khususnya pada awal proses pembentukan hukum Islam. Berangkat dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, penulis meneliti dengan judul: Nilai-nilai Islam dalam Pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat Penganut Islam di kalangan masyarakat suku Sasak dengan segala variannya, ada yang dikenal dengan kelompok Islam Wetu Telu, dan kelompok Islam Waktu Lima. Dalam praktik keagamaaan, baik penganut Islam Wetu Telu maupun Islam Waktu Lima, dikalangan mereka masih terlihat kental praktik adat istiadat setempat. Dalam praktik-praktik keagamaan tertentu masih sangat terlihat jelas adanya kedua unsur (nilai Islam dan adat atau tradisi lokal) mewarnai praktik tersebut. Dengan demikian, prosesi upacara adat perkawinan dapat saja dilakukan berdasarkan adat istiadat setempat atau berdasarkan hukum Islam dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi kebiasaan masyarakat setempat. Penelitian ini membatasi diri pada kajian yang terfokus pada upaya menemukan nilai-nilai Islam yang terdapat dalam setiap tahapan prosesi pelaksanaan adat perkawinan masyarakat suku Sasak Lombok.