Kritik terhadap implementasi akad murabahah di Lembaga Keuangan Syariah ( Kasus pada Bank Umum Syariah Kota Mataram)

Main Author: Elbadriati, Baiq
Format: Monograph NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat , 2017
Subjects:
Online Access: http://repository.uinmataram.ac.id/434/1/434.pdf
http://repository.uinmataram.ac.id/434/
Daftar Isi:
  • INDONESIA: Murabahah menjadi “idaman” di lembaga keuangan syariah karena profil risiko untuk pembiyaan jenis ini cenderung lebih kecil dibandingkan dengan pembiayaan yang lain seperti mudharabah dan musyarakah. Namun terdapat catatan mengenai pembiayaan murabahah ini, di antaranya bahwa sistem margin pada pembiayaan murabahah, mudah disalahartikan sebagai konsep “kredit syariah” oleh masyarakat awam. Di sisi lain, secara makro, pembiayaan jenis ini membuat nuansa moneter menjadi lebih menonjol dibandingkan sektor riil, karena pembiayaan murabahah pada umumnya bersifat konsumtif, sehingga tidak sesuai dengan cita-cita ekonomi Islam yang menuntut keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Muhammad Sabri Harun3 menjelaskan bahwa tantangan validitas dan legitimasi kontrak Murabahah sebagai salah satu yang paling penting dari pembiayaan dalam lembaga keuangan syariah menyebabkan ketidakpastian terhadap produk dan mengancam citra bank tersebut. Skeptisisme dikontrak Murabahah oleh beberapa ahli hukum kontemporer mengarah ke risiko ketidakpatuhan yang berdampak kuat pada kinerja lembaga keuangan syariah. Risiko ketidakpatuhan didefinisikan sebagai kegagalan untuk mematuhi aturan syariat dan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh dewan syariah. Ahmet Suayb Gundogdu4menjelaskan bahwa praktik murabahah sesungghnya tidak jauh berbeda dengan praktik perdaganagn di konvensional. Aset berdasarkan Murabahah membutuhkan pengalihan kepemilikan secara bersamaan dari pemasok ke pemodal dan dana kepada penerima pinjaman. Oleh karena itu, praktik manajemen risiko akan sama dengan pinjaman konvensional. Aset Murabahah, di sisi lain, mengharuskan memegang kepemilikan barang yang dibiayai dan menimbulkan risiko tertentu untuk dikelola. Syafi’i Antonio menjelaskan bahwa murabahah merupakan akad jual beli barang pada harga asal dengan ditambahkan keuntungan yang disepakti. Merujuk pada pengertian tersebut, maka dapat kita katakan bahwasannya yang melakukan transaksi dalam akad ini terdiri dari dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Menjadi masalah adalah karena bank syariah tidak memiliki barang dagangan sehingga ketika nasabah membutuhkan suatu barang dan melakukan pembiayaan murabahah, pihak bank (sebagai penyedia barang dagang) akan menunjukan satu pihak sebagai supplier.