Pengangkatan anak dan perubahan sosial keagamaan pada masyarakat Sasak: Telaah terhadap putusan Pengadilan Agama tentang Perkara Pengangkatan Anak
Main Author: | Jumarim, Jumarim |
---|---|
Format: | Monograph NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.uinmataram.ac.id/322/1/322.pdf http://repository.uinmataram.ac.id/322/ |
Daftar Isi:
- Sejak disahkannya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan berdirinya Peradilan Agama melalui UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tampak pengadilan Agama masih sepi dan lengang dari kasus gugat cerai oleh Istri maupun izin poligami oleh suuami, kecuali perkara waris dan thalak. Dapat diduga penyebabnya adalah masih kuatnya fikih yang bertolak belakang dengan isi UU Perkawinan dan KHI yang memperkenankan istri untuk menggugat cerai, suami untuk meminta izin Pengadilan untuk poligami, sekalipun fakta sosiologisnya angka poligami masih banyak dijumpai bahkan praktek nyeger-nyerorot (istri yang kabur untuk pisah rumah tangga dengan suami) juga banyak terjadi pada masyarakat Sasak. Sejak era reformasi yang diiringi dengan berbagai ruang kebebasan yang setara bahkan afirmasi sosialisasi yang luar biasa bagi perempuan melalui kebijakan dan anggaran pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), seperti lahirnya Komnas Perempuan, UU 32 tahun 2004 tentang KDRT, maka angka-angka terkait dengan beberapa hak perempuan melalui UU perkawinan dan KHI mulai mengisi buku register Pengadilan Agama mulai dari gugat cerai, gugat hak asuh anak, gugat pembagian harta gono-gini hingga gugat waris. Kini, UU perkawinan dan KHI yang menjadikan poligami sebagai jalan keluar bagi kemelut keluarga yang tidak punya keturunan, dibenturkan dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak yang diperkuat dengan PP No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Kedua regulasi terakhir memperkenalkan dua model perlindungan terhadap anak, yakni pengasuhan dan pengangkatan. Komitmen pemerintah tentang perlindungan anak melalui pengangkatan anak diperkuat kembali dengan terbitnya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memperluas kekuasaan Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan hingga penetapan pengangkatan anak. Perkara pengangkatan anak terus mengalir masuk ke Pengadilan Agama di Pulau Lombok dengan beragam kareteristiknya, baik berkaitan dengan status anak angkat, status orangtua kandung, status orangtua angkat maupun motivasi para pihak dalam pengangkatan anak, bahkan juga memiliki pola putusan yang hamper sama, yakni normative-positivistik, namun banyak karekternya baik pada aspek prosedur, alat bukti berupa diokumen administrative, alat penguat berupa saksi, dan sumber hukum yang dimanfaatkan oleh majelis hakim. Jumlah perkara yang terus meningkat dengan status anak, orangtua angkat yang terus beragam, maka terjadi perubahan sosial keagamaan secara evolutif pada masyarakat Sasak, dari konsep poligami menjadi tabanny, dari motif penambahan sumber nasab melalui tabanny dan seterusnya.