Validitas Maqāsid Al-Khalq: Kajian terhadap Pemikiran alGhazzālī, al-Syatibi dan Ibn ‘Asyur
Main Author: | Jabbar, 2003027401 |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
, 2013
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5157/1/Ringkasan%20Disertasi%20Jabbar.pdf https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5157/ |
Daftar Isi:
- Usūliyyūn percaya teori maqāsid al-syarī‘ah dapat memberi solusi dalam menjawab permasalahan sosial yang muncul seiring perkembangan zaman. Namun nyatanya masih ada bagian yang kurang mendapat perhatian usūliyyūn, yaitu al-maslahat al-gharībah. Kekurangan ini menunjukkan teori maqāsid al-syarī‘ah yang dibahas oleh kebanyakan peneliti masa kini dilakukan dari satu perspektif saja, sehingga masih bersifat atomistik. Padahal pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan menuntut pendekatan yang holistik. Terabainya al-maslahat al-gharībah diduga akibat dari cara pandang dikotomik antara maqāsid al-Syāri‘ dengan maqāsid al-khalq. Hal ini menuntut dilakukannya perluasan paradigma, sebab pandangan dikotomik selalu menimbulkan kontradiksi. Nyatanya almaslahat al-gharībah dipandang mardūd, tetapi usūliyyūn tidak bisa menolaknya dari lapangan ijtihad. Antara lain hal ini terlihat dari pemikiran al-Ghazzālī dan al-Syātibī. Berdasarkan kajian dalam karya tulis ini, teridentifikasi bahwa al-maslahat al-gharībah merupakan tujuan manusia yang boleh diamalkan (al-maqāsid al-khalq al-mu‘malah). Ini berbeda dengan tujuan manusia yang bertentangan dengan syariat (al-maqāsid alkhalq al-mulghāh). Karena al-maslahat al-gharībah berpijak pada fitrah salim, yaitu sunnat Allāh fī al-’ālam, sementara al-maslahat al-mulghāh ialah penentangan terhadap fitrah. Namun hal ini tidak bisa diakomodir tanpa melakukan perluasan paradigma, dan kuncinya ialah cara pandang yang positif terhadap fitrah manusia. Bagi al-Ghazzālī dan al-Syātibī fitrah penciptaan manusia mencakup sisi negatif semisal agresi destruktif. Akibatnya manusia tidak bisa lepas dari fitrah agresi destruktif dalam dirinya, lalu bagaimana maslahat bisa terwujud? Sementara bagi Ibn ‘Āsyūr manusia diciptakan dalam fitrah salim, adapun agresi destruktif hanya pengaruh lingkungan, bukan fitrah. Maka amanah memakmurkan bumi patut diemban manusia, sebab fitrah penciptaannya sejalan dengan fitrah syariat Islam sebagai rahmatan li al-‘ālamīn. Secara fitrah syariat Islam mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi manusia, bukan karena lupa. Bagian ini mampu dicerap oleh fitrah salim manusia walau tidak dijelaskan melalui nas, dan tidak dicakup oleh kaidah umum syariat. Oleh karena itu, al-maslahat al-gharībah bukan mengikuti hawa nafsu, sebab ia tercakup dalam ayat-ayat Allah yang bersifat kawniyyah. Maka perluasan paradigma mengantar pada satu kesimpulan, bahwa hukum syarak bersumber dari ayat-ayat Allah, baik ayat Alquran maupun kawniyyah sehingga diperlukan suatu pendekatan yang holistik. Sampai di sini nyatalah bahwa akal tidak menetapkan hukum (laysa muthbitan), tapi hanya menjadi alat untuk menemukan hukum (muzhir). Hal ini membuktikan hanya Allah lah satu-satunya al-Muthbit.