Penyelesaian Khalwat dengan Hukum Pidana Adat Aceh Besar ditinjau menurut Hukum Islam

Main Author: Syawal Ahmadi, 141008738
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5110/1/Syawal%20Ahmadi.pdf
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5110/2/Form%20B%20dan%20Form%20D.pdf
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5110/
http://library.ar-raniry.ac.id/
Daftar Isi:
  • Dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat, terdapat beberapa perkara atau kasus yang dapat diselesaikan melalui peradilan adat gampong dan peradilan adat ditingkat mukim, sebagaimana dimaksudkan di dalam bab VI tentang Penyelesaian Sengketa/Perselisihan. Dalam pasal 13 ayat (1) dan ayat (3) mengatakan bahwa aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar perselisihan/sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong. Adapun metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan data lapangan (field research) dan pendekatan hukum empiris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Islam mengatur tentang penyelesaian khalwat dan sistem putusan Peradilan Adat di Aceh Besar terkait dengan penyelesaian khalwat. Hasil penelitian dalam skripsi ini adalah penyelesaian sengketa khalwat di Aceh Besar dilakukan secara adat yang bersifat kesukarelaan dalam proses, prosedur yang tepat, keputusan non-yudisial, prosedur rahasia (confidentiality), fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah, hemat waktu, hemat biaya, pemeliharaan hubungan, tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, kontrol dan kemudahan untuk memperkirakan hasil dan keputusan yang bertahan sepanjang waktu. Sedangkan kewenangan lembaga adat dalam penyelesaian kasus khalwat/mesum di Provinsi Aceh untuk mendamaikan perkara dengan mengadakan rapat adat gampong, yang dipimpin oleh keuchik. Apabila dalam jangka waktu dua bulan kasus tersebut tidak dapat diselesaikan, maka kasus itu dapat diteruskan ke tingkat kemukiman yang dipimpin oleh imum Mukim dan apabila imum Mukim dalam jangka waktu satu bulan tidak dapat menyelesaikannya, kasus tersebut baru dapat diteruskan kepada aparat hukum yaitu Mahkamah Syari’ah.