Analisis Praktik Gasab ditinjau menurut Konsep Fiqh Muamalah (Studi Kasus di Kemukiman Lamteungoh, Aceh Besar)
Main Author: | Haura Nabrisa, 121310030 |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/3769/1/Haura%20Nabrisa.pdf https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/3769/2/From%20B%20dan%20From%20D.pdf https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/3769/ http://library.ar-raniry.ac.id |
Daftar Isi:
- Gasab adalah salah satu perbuatan yang mendatangkan dosa besar bagi siapa yang melakukannya karena mengambil sesuatu milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Adapun penelitian dalam skripsi ini adalah: Pertama, Bagaimana mekanisme praktik gaṣab yang terjadi di Kemukiman Lamteungoh, Aceh Besar. Kedua, Apa faktor-faktor terjadinya praktek gaṣab yang terjadi di Kemukiman Lamteungoh, Aceh Besar. Ketiga, Bagaimana tinjauan fiqh mu’amalah terhadap praktik gaṣab yang terjadi di Kemukiman Lamteungoh, Aceh Besar. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan interview. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan gaṣab di kemukiman Lamteungoh berawal dari kebiasaan masyarakat yang mempunyai lahan namun tidak bertempat tinggal di desa tersebut sehingga pemilik lahan melakukan kerjasama dengan warga sekitar untuk menjaga lahan tersebut. Faktor yang menyebabkan terjadinya praktek gaṣab tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) faktor individual, lemahnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan gaṣab serta menganggap remeh perbuatan gaṣab tersebut. (2) faktor lingkungan, kurang sosialnya masyarakat sekitar yang ada di Kemukiman Lamteungoh dalam menanggapi permasalahan yang terjadi, khususnya kasus yang mengenai dengan perbuatan gaṣab. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam hal ini menjadikan para pelaku gaṣab tersebut terus menerus melakukan perbuatannya tanpa ada sanksi yang mereka terima. Berdasarkan tinjauan fiqh mu’amalah, orang yang menabur benih di atas tanah milik orang lain, lalu pemilik tanah itu meminta kembali tanahnya tersebut, maka tanaman yang ditanam tersebut menjadi milik pemilik lahan. Apabila pengelola tidak mau memberikannya, maka ia harus mencabut pohon tersebut.