Keabsahan Akad Bersyarat dalam Nikah Mis-yar (Studi Komparatif Pandangan Ibnu Qudamah dengan Ibnu Hazm)

Main Author: Mohammad Ridzuan Bin Sariman, 131209707
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/3594/3/Mohammad%20Ridzuan.pdf.pdf
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/3594/2/Form%20B%20dan%20Form%20D%20Ridzuan.pdf
https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/3594/
http://library.ar-raniry.ac.id
Daftar Isi:
  • Pernikahan mis-yār adalah model pernikahan yang tidak lazim, di mana seorang istri melepaskan tuntutan hak nafkah lahir yang wajib dipenuhi oleh suami seperti hak pakaian, hak tempat tinggal dan hak pembagian giliran. Pernikahan ini berlangsung ketika suami dalam perantauan dalam waktu lama dan menikahi wanita di tempat perantauannya. Para istri yang merelakan haknya itu biasanya adalah wanita-wanita yang mapan secara ekonomi dan hanya memerlukan kebutuhan-kebutuhan batiniah dari suaminya. Pernyataan istri tentang kerelaannya itu disebut sebagai persyaratan dalam akad nikah. Persyaratan tertentu memberi pengaruh terhadap keabsahan akad nikah. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm tentang keabsahan akad bersyarat dalam nikah mis-yār dan apakah metode istinbāṭ hukum yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan teknik deskriptif komparatif, yaitu dengan menggambarkan seterusnya menguraikan perbedaan pandangan antara Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm tentang keabsahan akad bersyarat dalam nikah Mis-yār. Hasil penelitian ditemukan bahwa Ibnu Qudamah mewajibkan supaya dipenuhi persyaratan yang menghasilkan manfaat dan faedahnya kembali kepada pihak perempuan (istri) karena mengandung maslahat yang lebih besar. Ibnu Qudamah menggunakan metode bayani dengan model mentakhsiskan makna umum (‘Āmm) dari sebuah hadis dengan hadis khusus (khāṣ). Menurut Ibnu Hazm, tidak sah pernikahan yang dikaitkan atas persyaratan-persyaratan tertentu. Apabila dihubungkan dengan syarat akad pada nikah mis-yār maka didapati bahwa Ibnu Hazm juga menggunakan metode Bayani. Namun dalil hadis yang digunakan lebih bersifat umum (‘Āmm). Dari paparan di atas, penulis cenderung terhadap pandangan Ibnu Qudamah dengan melihat dua faktor yang mendukung pendapat beliau yaitu dari segi kekuatan dalil dan dari segi pendekatan Maqāṣid al-Syar’iyah, sehingga dapat membuka ruang dalam menentukan persyaratan yang dibolehkan dalam pernikahan mis-yār sesuai dengan ketentuan syara’ dan menjawab permasalahan kontemporer.