Kebijakan Formulasi Pidana Kerja Sosial Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Rangka Perlindungan Anak

Main Author: Prentha, Bahria
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/9165/
Daftar Isi:
  • Salah satu tujuan negara Indonesia adalah memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Tujuan negara tidak dapat dipisahkan dengan tujuan pembangunan nasional, pembangunan nasional adalah membentuk manusia seutuhnya yang di dalamnya termasuk anak. Untuk mencapai tujuan tersebut salah satu sarana yang dapat digunakan adalah melalui kebijakan legislatif/formulasi atau kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka diutamakan adalah pendekatan humanistis, dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka perlindungan anak. Kebijakan legislatif (formulasi) yang baik seyogianya mengandung unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis sehingga kaidah atau norma yang tercantum dalam undang-undang berlaku efektif dan dapat diterima oleh masyarakat. UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPP Anak merupakan bentuk kebijakan legislatif (formulasi) hukum pidana anak di Indonesia. Fokus penelitian dalam disertasi ini adalah Kebijakan formulasi pidana kerja sosial terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam rangka perlindungan anak. Penelitian ini menggunakan metode normatif atau penelitian hukum kepustakaan, dengan membahas permasalahan sebagai berikut : 1) Apa dasar filosofi pidana kerja sosial terhadap perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana di masa yang akan datang. 2) Bagaimana kebijakan formulasi perumusan norma pidana kerja sosial tentang jenis tindak pidana, batas usia minimum yang dapat dikenakan pidana kerja sosial, dan tentang keberadaan anak selama masa menjalani pidana kerja sosial terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di masa yang akan datang. Berdasarkan analisis dan pembahasan dari kedua permasalahan tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, Dasar filosofi perlindungan anak dikaitkan pidana kerja sosial dapat dilihat dalam konsideran UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPP Anak. Huruf (a) Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. (b) Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Rumusan huruf (b) hanya mengandung asas perlindungan saja sehingga tujuan untuk mewujudkan kesejahteran demi kepentingan terbaik anak tidak tercapai, oleh karenanya dasar filosofi konsideran UU SPP Anak perlu ditambah dengan asas keadilan dan kesejahteraan dengan pertimbangan bahwa keadilan dan kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana anak. Kedua; UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPP Anak menggunakan istilah “pidana pelayanan masyarakat“, tidak menjelaskan tentang pidana kerja sosial, iv namun apabila dikaji lebih mendalam maka pidana pelayanan masyarakat memiliki makna yang sama dengan pidana kerja sosial. Di beberapa Negara pidana kerja sosial telah diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti Belanda, Inggris bahkan Negara New Soulth Wales memiliki UU tersendiri yang mengatur tentang pidana kerja sosial anak. Dalam sistem pemidanaan di Indonesia pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru seperti termuat dalam konsep RUU KUHP Tahun 2015, Pasal 88 Ayat (1) Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori 1 maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial. Ayat (4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama: (a). dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, (b). seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Hal ini menunjukan bahwa pidana kerja sosial dapat berlaku untuk orang dewasa maupun bagi anak, namun pasal ini tidak mencantumkan batas usia minimum. UU SPP Anak juga tidak mencantumkan usia minimum, jenis-jenis tindak pidana, dan keberadaan anak selama masa menjalani pidana kerja sosial, apakah anak tetap berada dalam lingkungan keluarga atau diserahkan kepada suatu lembaga tertentu. Dalam Pasal 128 Ayat (2) RUU KUHP, selama masa pemidanaan pelayanan masyarakat, anak tetap berada dalam lingkungan keluarga dengan ketentuan segala persyaratan yang telah diputus oleh pengadilan wajib dilaksanakan oleh anak dengan pendampingan dari orang tua/wali. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 128 bahwa pelayanan masyarakat dimaksudkan untuk merehabilitasi anak, memberikan efek jera dan menimbulkan rasa empati. Dari penjelasan Pasal 128 menunjukan bahwa pidana pelayanan masyarakat sama maknanya dengan pidana kerja sosial. Tujuan pidana kerja sosial bagi anak adalah melindungi hak-hak anak seperti terhindar dari penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri, tetap menjalankan kehidupan secara normal, dan yang terpenting adalah anak tetap berada dalam lingkungan keluarga terutama bersama orangtua/wali sehingga tetap mendapat kasih sayang dan bimbingan dari orang tua/wali. Apabila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dengan menggunakan pendekatan teori “kebijaksanaan” bahwa kebijaksanaan disini harus dilihat dalam pengertian fisik, psikis dan spiritual, karena pertumbuhan secara fisik maupun mental seorang anak tidak boleh mengalami hambatan dan gangguan. Hal ini sejalan dengan tujuan pemidanaan yaitu tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dengan demikian pidana kerja sosial dapat memenuhi aspek tujuan pemidanaan dan aspek perlindungan anak. Adapun rekomendasi yang dapat diajukan yaitu:1.Menambah azas keadilan dan kesejahteraan dalam konsideran sebagai dasar filosofi UU No. 11 Tahun 2012 huruf (b) menjadi; Bahwa untuk menjaga harkat dan martabat anak berhak mendapatkan keadilan, perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. 2. Merubah rumusan norma Pasal 73 ayat (1), menyisipkan dan menambah rumusan norma pada Pasal 76 UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPP Anak, sebagai konsep baru (ius constituendum) yaitu; Pasal 73 ayat (1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim atas kejahatan dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, pelanggaran dengan pidana denda v atau memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana. Pasal 76 ayat (2) pidana kerja sosial dapat dikenakan terhadap anak yang berusia minimum 14 (empat belas) tahun. (disisip). Ayat (3) Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan Anak tersebut mengulangi seluruh atau senagian pidana kerja sosial yang dikenakan terhadapnya. Ayat (4) Pidana kerja sosial untuk Anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Ayat (5) Selama masa menjalani pemidanaan pidana kerja sosial, anak tetap berada dalam lingkungan keluarga, dengan ketentuan segala persyaratan pembinaan yang telah diputus oleh pengadilan wajib dilakukan oleh anak dengan pendampingan dari orang tua/wali. Menambah penjelasan Pasal 76 ayat (1). Yang dimaksud dengan pelanggaran adalah pelanggaran grafiti yaitu coretan-coretan pada dinding, yang menggunakan komposisi warna garis, bentuk, volume untuk menulis kata, simbol atau kalimat. Yang dimaksud dengan memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana adalah suatu bentuk tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh anak untuk memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana yang telah dilakukan. Pemerintah perlu membentuk suatu lembaga atau badan tersendiri untuk mengawasi pelaksanaan pidana kerja sosial, dengan pertimbangan agar manfaat dari pidana kerja sosial dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.