Perlindungan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia Yang Melakukan Perkawinan Beda Agama ( Kajian Pluralisme Hukum)
Main Author: | Indrayanti, Kadek Wiwik |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/792/1/BAGIAN%20DEPAN.pdf http://repository.ub.ac.id/792/2/02.%20BAB%20I.pdf http://repository.ub.ac.id/792/3/03.%20BAB%20II.pdf http://repository.ub.ac.id/792/4/04.%20BAB%20III.pdf http://repository.ub.ac.id/792/5/05.%20BAB%20IV.pdf http://repository.ub.ac.id/792/6/06.%20BAB%20V.pdf http://repository.ub.ac.id/792/7/07.%20BAB%20VI.pdf http://repository.ub.ac.id/792/ |
Daftar Isi:
- Salah satu perkawinan yang sedang berkembang di masyarakat, khususnya Indonesia adalah perkawinan beda agama. Jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Perkawinan beda agama tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang- Undang Perkawinan). Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang –Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Akibatnya warga negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan beda agama tidak dapat melangsungkan perkawinannya di Indonesia. Tidak diaturnya perkawinan beda agama menunjukkan adanya kekosongan norma hukum di dalam Undang-Undang Perkawinan sehingga mengakibatkan sejumlah warga negara melakukan berbagai upaya untuk melangsungkan perkawinannya, seperti melakukan perkawinan keluar negeri, perkawinan dilakukan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan, penundukan diri dan mengajukan permohonan penetapan perkawinan. Upaya tersebut dianggap sebagai kendala sehingga perkawinan beda agama masih menyisakan suatu persoalan. Urgensi perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan beda agama karena ada sejumlah problem. Problem filsafati yaitu perkawinan merupakan hak bagi setiap orang tanpa kecuali perkawinan beda agama. Problem teoritis yakni terjadi ketidakpastian hukum sehingga rasa keadilan bagi calon pasangan yang melakukan perkawinan beda agama menjadi terabaikan. Problematika yuridis adalah adanya kekosongan norma hukum bagi WNI yang melakukan perkawinan beda agama di Indonesia. Problematika sosiologis yaitu meningkatnya jumlah calon pasangan yang melakukan perkawinan beda agama di masyarakat dan timbulnya beragam penafsiran terhadap perkawinan beda agama dikalangan aparat (hakim), yang menyebabkan banyak hakim menolak memberikan penetapan perkawinan. Dari beberapa problematika diatas maka isu hukum dalam penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut: Apa hakikat perkawinan beda agama di masyarakat sesuai dengan hakekat perkawinan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?, Bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi warga negara yang melakukan perkawinan beda agama dan implikasi yuridis vi kekosongan hukum dalam kerangka pluralisme hukum? dan Bagaimana konsep perlindungan hukum perkawinan beda agama bagi WNI yang memberikan kepastian hukum dan berkeadilan dalam kerangka pluralisme hukum di masa yang akan datang?. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Legal Research), yang merupakan serangkaian tindakan atau proses untuk menemukan hukum disebabkan terjadinya kekosongan hukum (vacuum norm). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang, Sejarah hukum, Kasus dan Perbandingan hukum. Untuk menganalisis isu hukum pertama digunakan teori legal pluralisme hukum dari Griffith yang menjelaskan adanya keberagaman hukum dan interaksi antara sistem hukum yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai-nilai perkawinan yang tertuang di dalam Undang- Undang Perkawinan dengan nilai-nilai perkawinan beda agama memiliki persamaan yakni bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral, dilakukan berdasarkan cinta dan kasih sayang yang berupa ikatan lahir dan batin dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan bersifat langgeng/abadi berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal-hal tersebut merupakan titik taut dari nilai-nilai perkawinan pada umumnya, termasuk perkawinan beda agama. Sementara perbedaannya terletak pada tata cara atau seremonialnya. Untuk menjawab isu hukum yang kedua digunakan beberapa teori yaitu teori kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, perlindungan hukum dan hak asasi manusia. Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide dasar bahwa cita hukum tersebut ditopang oleh kehadiran tiga nilai dasar (Grundwerten) yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherkeit). Dalam kaitannya dengan perkawinan beda agama yang memerlukan perlindungan hukum maka teori kepastian hukum dari Gustav Rudbruch Radbruch akan dipakai untuk memberikan pandangan tentang perlunya kepastian hukum untuk menata perilaku masyarakat yang peraturannya belum ada. Aspek keadilan yang diutarakan oleh Plato dalam kosepsinya giving each man his due, artinya setiap orang diberikan apa yang menjadi haknya. Konstruksi konsep keadilan Aristoteles adalah memberikan keadilan distributif merupakan tugas pemerintah kepada warganya untuk menentukan apa yang dituntut oleh warganya. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi pemerintah (pembentuk undang-undang) untuk memperhatikannya dalam merumuskan undang-undang. Teori Kemanfaatan dari Jeremy Bentham digunakan karena menurutnya tujuan hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan sebesarbesarnya bagi orang sebanyak banyaknya. Teori perlindungan hukum Philipus Hadjon digunakan untuk menganalisis perlindungan warga negara yang vii melakukan perkawinan beda agama karena diupayakan untuk memberikan kepastian hukum pada aspek pencatatannya. Hasil dari isu hukum kedua bahwa pengaturan perlindungan hukum bagi warga negara yang melakukan perkawinan beda agama tidak diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan. Padahal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa ada ruang bagi warga negara yang melakukan perkawinan beda agama untuk mencatatkan perkawinannya. Implikasi yuridis kekosongan norma hukum di dalam Undang- Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama menjadi tidak sah dan berdampak pada status anak dan harta kekayaan suami istri. Sehingga konsep perlindungan norma hukum bagi calon pasangan diperlukan karena perkawinan beda agama secara filosofis dibenarkan karena berbasiskan pada hak asasi manusia (HAM), dimana adanya keberagaman dan perkembangan cara berpikir dan pola perilaku masyarakat dalam memandang nilai suatu perkawinan. Untuk menganalisis isu hukum nomor 3 digunakan beberapa teori yang sama dengan isu hukum nomor 2 diatas ditambah dengan teori pembentukan hukum. Untuk menyusun konsep perlindungan hukum seyogyannya mempertimbangkan nilai nilai perkawinan yang diyakini oleh masyarakat yang tercermin pada Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang merupakan cerminan dari nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu perlindungan yang diberikan bagi WNI yang melakukan perkawinan beda agama dapat diperjuangkan pada aspek pencatatannya. Adapun deskripsi konsep perlindungan hukum dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Perkawinan beda agama secara filosofis dibenarkan karena berbasiskan pada prinsip hak asasi manusia (HAM); (2) Secara sosiologis jumlah fakta warga negara yang melakukan perkawinan beda agama semakin bertambah di masyarakat: (3) Perlindungan hukum bagi warga negara yang melakukan perkawinan beda agama secara yuridis diperlukan untuk memberikan kepastian hukum. Sebagai rancangan konsep perlindungan hukum dapat dikonstruksi sebagai berikut: (a) Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita warga negara Indonesia yang memiliki agama berbeda; (b) Warga negara yang melakukan perkawinan beda agama dapat mengajukan permohonan penetapan perkawinan ke Pengadilan Negeri; (c) Bentuk pengakuan negara terhadap perkawinan beda agama dengan mewajibkan Dinas Kantor Catatan Sipil mencatatkan perkawinan calon pasangan. Penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Perlunya sosialisasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan terkait dengan aspek pencatatan perkawinan viii beda agama yaitu ketentuan Pasal 34 dan 35 yang ditujukan kepada aparat (hakim dan DKCS) dan masyarakat. 2. Jika dilakukan perubahan terhadap substansi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka harapannya agar pemerintah khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat menggunakannya sebagai salah satu bahan rujukan di dalam pembuatan legal drafting. Perlindungan hukum terhadap perkawinan beda agama di Indonesia diperlukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan faktor-faktor seperti prinsip hak asasi manusia, pluralisme hukum dan perkembangan serta kebutuhan yang terjadi dimasyarakat. Sebagai negara hukum yang berkewajiban memberikan pengayoman kepada setiap warga negara tanpa diskriminasi maka wujud perlindungan itu dituangkan kedalam suatu norma sehingga ada kepastian hukum dan keadilan dapat dirasakan.