Sakral Profan Nilai Keperawanan: Konstruksi Realitas Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual (Studi Fenomenologi Klien Dampingan Women’s Crisis Center Jombang)
Main Author: | Ambarwati, Desy Suci |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/6272/ |
Daftar Isi:
- Penelitian ini membahas konstruksi realitas remaja perempuan korban kekerasan seksual yang didampingi Women’s Crisis Center (WCC) Jombang dalam memaknai nilai keperawanan sebagai hal sakral dan/atau profan, dengan melibatkan 3 subjek yakni IS (17), DN (19), dan MF (16). Korban yang dipandang telah ‘kehilangan’ keperawanan oleh masyarakat di Kabupaten Jombang harus menanggung berbagai dampak sosial akibat keperawanan yang dinilai sakral berdasarkan moralitas serta nilai lain yang telah mengakar, seperti kesopanan, kesusilaan, pergaulan, dan agama.Disisi lain, subjek mengkonstuksikan nilai keperawanan tidak hanya secara sakral, melainkan dapat pula dijadikan profan yang selanjutnya mempengaruhi perilaku secara sadar maupun penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan fenomenologi dengan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat cenderung mensosialisasikan nilai keperawanan sebagai hal sakral, sedangkan peer group subjek berlaku sebaliknya. Pemahaman tentang kesakralan nilai keperawanan senantiasa berbanding lurus dengan upaya subjek menjaga ‘kesucian’ dirinya dengan menjauhi pergaulan menyimpang bersama lawan jenis maupun perilaku dan penampilan yang dipandang negatif oleh masyarakat di sekitarnya.Sebaliknya, nilai keperawanan yang diprofankan akan mengarah pada perilaku seksual pra nikah sekaligus pembangkangan terhadap aturan-aturan yang diberlakukan. Ketiga subjek mengkonstruksikan dualitas nilai keperawanan tadi secara sakral, profan, ataupun keduanya. IS memahami persetubuhan di luar nikah sebagai bentuk penyaluran hasrat seksual bersama orang yang dikehendaki, begitu pula dengan MF yang turut melakukannya atas dasar suka sama suka setelah dijanjikan pernikahan oleh pelaku. Berbeda dengan DN yang disebabkan karena unsur paksaan atau pemerkosaan. Kemudian, ‘ketidak-perawananan’ sebagai korban kekerasan seksual memunculkan dorongan dari pihak keluarganya untuk segera menikahkan subjek agar tidak menjadi korban lagi dan berhentidistigma. IS menolak hal ini lantaran merasa masih terlalu muda dan ingin berpacaran saja, sedangkan DN dan MF memilih langsung menikah untuk mencapai tujuan tersebut.