Perbedaan Pola Adaptasi Nelayan menghadapi Reklamasi Tambatan Perahu (Studi Kasus di Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang)
Main Author: | Asiah, Nur |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/4651/ |
Daftar Isi:
- Pembangunan dalam praktiknya hampir pasti mensyaratkan adanya perubahan fisik ekologis yang disengaja. Reklamasi adalah salah satu bentuk rekayasa fisik ekologi. Namun, faktanya reklamasi bukan sekadar meningkatkan nilai guna lahan yang ada, akan tetapi juga menimbulkan persoalan dampak pada masyarakat maupun lingkungan sekitar. Dalam penelitian ini, nelayan adalah pihak yang terlibat secara langsung dengan tambatan perahu mereka yang terkena reklamasi. Nelayan dianggap sebagai kelompok marjinal dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan kebergantungannya pada musim serta kondisi ekologi yang telah berubah. Ditengah-tengah situasi ini, reklamasi menambah daftar panjang kesulitan-kesulitan yang dihadapi mereka. Sebab, tidak semua unsur masyarakat, terutama nelayan ini dapat menerima konsekuensi positif dari reklamasi yang ada. Maka, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan adaptasi yang dilakukan nelayan menghadapi reklamasi. Analisis teoritis yang dilakukan menggunakan pemikiran Robert K. Merton mengenai pola adaptasi sosial. Menurutnya, manusia memiliki pola adaptasi yang cenderung berbeda dalam menghadapi sebuah peristiwa. Sebab, konsekuensi yang dirasakan oleh tiap manusia tidak selalu sama. Hal ini bergantung pada kesempatan yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara tidak terstruktur, serta dokumentasi. Hasil temuan menunjukkan bahwa nelayan secara keseluruhan mengutuk adanya reklamasi yang mengusik aktivitasnya sebagai nelayan, namun dalam perilakunya terdapat perbedaan. Ada kelompok nelayan yang secara nyata menolak dan aktif terlibat melakukan perlawanan serta nelayan yang menerima begitu saja tanpa mempertanyakan. Hal ini terjadi berdasarkan kesempatan yang dimiliki nelayan tersebut. Nelayan yang relatif memiliki hubungan baik dengan perangkat desa cenderung menerima, sedangkan nelayan yang tidak memiliki kedekatan disini cenderung melakukan perlawanan. Kemudian, nelayan yang merasa tidak perlu lagi mencari nafkah cenderung tidak begitu melakukan perlawanan. Seiring berjalannya waktu, muncullah kesepakatan semu bahwa nelayan setuju melakukan relokasi tambatan perahu. Sehingga, ada nelayan yang masih bertahan dan sebagian besar berhenti dengan beralih profesi. Selain adaptasi mereka sebagaimana tersebut, nelayan juga memiliki strategi nafkah ganda, yakni menambah penghasilan dengan melakukan pekerjaan lain seperti menjadi ojek, pemborong besi tua, maupun menjadi buruh pabrik.