Keabsahan Talak Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Fiqih Munakahat (Konflik Norma)

Main Author: Fahmi, Hasyim
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/3327/1/Hasyim%20Fahmi.pdf
http://repository.ub.ac.id/3327/
Daftar Isi:
  • Pada skripsi ini mengangkat permasalahan Keabsahan Talak Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Munakahat (Konflik Norma). Pemilihan tema tersebut dilatarbelakangi adanya perbedaan cara jatuhnya talak dalam hukum positif dan fiqih munakahat, dalam hukum positif pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan. Pertegas lagi dalam pasal 115 kompilasi hukum Islam dan pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1985 yang menyatakan : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Dalam Fiqh Munakahat, Hadits Sabda Rasulullah Saw. : Dari abu hurairah ra., ia berkata : Rasulullah Saw. Bersabda : ada 3 perkara, yang bila di sungguhkan jadi dan bila main-main pun tetap jadi, yaitu Nikah, Thalak (cerai), Ruju’ (suami kembali kepada suami). (H.R. imam yang empat dan dishahkan oleh Hakim). Dalam hadist lain disebutkan : Dari Abu hurairah ra. Dari Nabi saw., beliau bersabda : “sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku apa yang dikandung didalam hatinya, namun belum dikerjakan atau dikatakan dengan lisannya”.(H.R. Bukhari dan Muslim). Hal tersebut yang dapat menimbulkan masalah hukum dikemudian. Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini mengangkat dua rumusan masalah yaitu bagaimana keabsahan talak dalam perspektif hukum positif dan fiqih munakahat? Bagaimana akibat hukum talak dalam perspektif hukum positif dan fiqih munakahat? Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, adalah pendekatan yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang bersifat normatif, yaitu : Al-qur an dan Hadits, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan bahwa cerai tanpa putusan pengadilan itu tidak sah, sesuai dengan pasal 39 ayat 1 undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan persidangan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Maka dari itu orang cerai tanpa putusan pengadilan tidak sah tapi menurut hukum islam dalam fiqih munakahat, tentang permasalahan talaq tidak mengharuskan seorang suami untuk mengajukan permohonan talaq kepada lembaga talaq ataupun Pengadilan Agama, namun talaq cukup dengan diucapkan. Perceraian yang diucapkan memalui putusan dalam sidang pengadilan dimaksudkan untuk memebela hak kewajiban status suami-istri secara hukum, agar tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses dan pembuktian.