Daftar Isi:
  • Pada tesis ini, penulis membahas mengenai permasalahan kedudukan hak ingkar dan pemanggilan notaris pasca Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016 pada proses peradilan pidana. Hal ini dilatarbelakangi karena masih belum jelas mengenai aturan hak ingkar karena apabila ditinjau dari UUJN, Notaris tidak memiliki kewajiban untuk bersaksi atau memberikan keterangan terkait akta yang dibuatnya berkaitan dengan rahasia jabatan kecuali undang-undang menentukan lain. Hal tersebut dapat mengakibatkan kekaburan hukum mengenai adanya frasa “kecuali UU menentukan lain” yang menyebabkan terjadinya inkonsisten terhadap aturan hukum lain yang berlaku seperti dalam hal Pasal 170 ayat (1) KUHAP dengan pasal 66 UUJN. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Hakim memerlukan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang diatur oleh UU dan keyakinan hakim karena Indonesia menganut Sistem Pembuktian Negatif. Keterangan dari Notaris ataupun akta notaris tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti dalam hukum pidana. Namun apabila permohonan pemanggilan notaris yang dimohon oleh pemohon ditolak oleh MKNW, padahal keterangan dari Notaris ataupun akta notaris tersebut merupakan salah satu kunci penting bagi Hakim dalam memutus perkara pidana, apakah ada upaya yang dapat diambil oleh pemohon untuk bisa memanggil kembali Notaris yang bersangkutan? Karena dalam Permenkumham tersebut tidak diatur secara jelas apabila Majelis Kehormatan Notaris menolak permintaan pemohon. Tujuan penelitian ini untuk mengethaui dan menganalisis kedudukan hak ingkar dan pemanggilan notaris pasca Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016 pada proses peradilan pidana serta untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan pemohon apabila Majelis Kehormatan Notaris Wilayah tidak memberikan persetujuan untuk memeriksa notaries yang bersangkutan. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan kedudukan hak ingkar dan pemanggilan notaris pada proses peradilan pidana dan upaya hukum yang dapat dilakukan pemohon apabila permohonan pemanggilan notaris ditolak oleh MKNW dengan menggunakan tenknik analisis bahan hukum interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis. Hasil penelitian adalah hak ingkar yang dimiliki notaris tetap melekat pada notaris. Dalam hal pemanggilan Notaris, pihak penyidik, penuntut umum ataupun hakim harus mendapatkan persetujuan dari MKN sebagaimana yang telah diatur didalam Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016. Aturan dalam permenkumham tersebut adalah Imperatif artinya harus dipenuhi oleh penyidik, penuntut umum, bahkan hakim dalam memanggil Notaris. Apabila aturan dalam permenkumham v tersebut tidak dipenuhi maka pemanggilan notaris tersebut dapat dikatakan telah cacat formalitas. Meskipun notaris telah diijinkan dipanggil untuk hadir dalam pemeriksaan yang dilakukan penyidik, penuntut umum bahkan hakim, notaris tetap dapat menggunakan hak ingkarnya. Penolakan permohonan Pemohon dalam memanggil Notaris untuk diperiksa pada proses peradilan pidana bukan berarti Pemohon tidak bisa memanggil Notaris tersebut. Permenkumham memang tidak mengatur mengenai upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi penolakan persetujuan pemanggilan notaris untuk diperiksa. MKN dalam mengeluarkan suatu penolakan atau persetujuan tersebut berupa Surat Keputusan Tertulis dan apabila dipermasalahkan maka dapat dikategorikan sebagai Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Keterangan notaris ataupun akta Notaris tersebut dapat menjadi hal yang penting apabila diperlukan dalam proses peradilan untuk memutus perkara pidana sehingga gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara ini dapat menjadi upaya pemohon apabila permohononan pemanggilan Notaris ditolak oleh MKN. Objek dalam gugatan ini adalah Keputusan Penolakan yang dikeluarkan MKN. Penggugatnya adalah Pemohon yang memanggil notaris, dan Tergugatnya adalah MKN yang mengeluarkan Surat Keputusan Penolakan untuk memanggil notaris.