Analisis Yuridis Intеrprеtasi ‘Particular Markеt Situation’ Pada Kasus Sеngkеta Еkspor Produk Kеrtas Indonеsia Vs. Australia (Ds 529)
Main Authors: | Kurniawan, Gabriеlla Еsthеr, Dr. Hanif Nur Widhiyanti,, S.H., M.Hum, Hikmatul Ula,, S.H., M.Hum |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2020
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195756/1/Gabriella%20Esther%20Kurniawan%20%282%29.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195756/ |
Daftar Isi:
- Indonesia menggugat Australia terkait pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 12-38,6% untuk produk kertas yang berasal dari Indonesia. Dasar pengenaan BMAD oleh Australia adalah Indonesia diduga kuat telah menciptakan kondisi Particular Market Situation (PMS) sebagaimana diatur dalam Anti Dumping Agreement (AD Agreement) pasal 2.2. Adapun menurut Australia, situasi PMS tersebut timbul akibat kebijakan larangan ekspor kayu log Indonesia yang menyebabkan suplai kayu log di Indonesia menjadi melimpah. Dampak dari melimpahnya suplai kayu log tersebut dianggap menyebabkan kayu log tidak memiliki harga pasar yang pasti dan menyebabkan harga bahan baku kertas menjadi jauh lebih murah. Atas hal tersebut, Indonesia menyatakan keberatan karena pengaturan tentang subsidi diatur di dalam Agreement yang berbeda yakni Subsidies and Counter vailing Measures Agreement (SCMA). Sehingga dibutuhkan kausalitas yang jelas antara ADA dan SCMA sebelum Australia mengenakan BMAD pada produk kertas Indonesia. Selain itu, dalam ADA tidak diatur secara spesifik terkait definisi dari PMS sehingga tidak ada tolok ukur yang pasti bagaimana sebuah negara dikatakan telah menciptakan kondisi pasar tertentu. Isu hukum dalam kasus ini adalah kekaburan hukum atas klausul “ Particular Market Situation” dalam Pasal 2.2 AD Agreement , yang dimana selama proses persidangan, baik Indonesia, Australia maupun third parties memiliki argumentasi masing-masing terkait interpretasi dalam menentukan definisi dan tolok ukur dari PMS yang belum terdefinisikan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konsep, dan komparatif. Kemudian bahan hukum yang diperoleh penulis dianalisis dengan teknik analisis deskriptif untuk menyelesaikan permasalahan hukum terkait obyek kajian. Bеrdasarkan pеrtimbangan dan putusan DSB WTO dapat disimpulkan bahwa intеrprеtasi PMS olеh Australia lеbih dapat ditеrima bahwa PMS seharusnya diartikan secara luas. Namun Australia gagal membuktikan adanya injury yang diakibatkan oleh PMS di Indonesia karena tidak tepatnya penggunaan metode proper comparison untuk menentukan constructed normal value oleh Australia. Hal ini membawa kemenangan bagi Indonesia.