Rekonstruksi Pengaturan Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan

Main Authors: Wilamarta, Stephanie, Prof. Dr. Sudarsono,, SH.,M.S., Dr. Abdul Rachmad Budiono,, S.H., M.H., Dr. Bambang Sugiri,, S,H., M.S.
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195682/1/Stephanie%20Wilamarta.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195682/
Daftar Isi:
  • Sektor perpajakan merupakan salah satu faktor yang penting bagi peningkatan pendapatan negara. Untuk itu pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kali pembaharuan di bidang perpajakan atau reformasi perpajakan (tax reform) yang dimulai pada tahun 1983 kemudian pada tahun 1994/1997, dan terakhir pada tahun 2000. Dalam usaha pengamanan penerimaan negara dari sektor pajak pemerintah menetapkan suatu Peraturan Pemerintah tentang pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pada pelaksanaan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan dengan perhitungan sebagai berikut: tarif dasar final yang telah ditentukan dikalikan nilai transaksi sebagai dasar pengenaan pajaknya. Pajak Penghasilan dihitung tanpa melihat apakah nilai pengalihan (jual) yang terjadi lebih tinggi atau lebih rendah daripada nilai perolehan (beli), tetap dikenakan pajak dengan tarif final yang telah ditetapkan, artinya terhadap transaksi yang merugi (tidak memperoleh tambahan kemampuan ekonomis), tetap harus terkena Pajak Penghasilan (PPh). Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak dikenakan dari setiap tambahan kemampuan ekonomis/penghasilan (Pay as you earn), akan tetapi undang-undang itu sendiri mengatur pula bahwa terhadap penghasilan tertentu, yang antara lain adalah penghasilan dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Memenuhi peraturan tersebut, pemerintah mengatur pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah, yang berlaku saat ini dengan penerapan tarif final yang dihitung berdasarkan nilai transaksi (tidak dengan nilai tambahan kemampuan ekonomis/keuntungan/penghasilan) dari Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, dapat dikatakan bahwa dari setiap transaksi pasti akan terkena pajak tanpa harus melihat apakah atas transaksi tersebut memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Telaah teoritis mendeskripsikan bahwa pajak penghasilan yang didefinisikan oleh kebijakan perpajakan tersebut tidak mencerminkan pajak penghasilan yang adil. Asas kepastian hukum sebagai salah satu asas dalam pemungutan pajak yang harus diperhatikan, tidak terpenuhi oleh karena Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini jelas bertentangan dengan isi dari undang-undangnya sendiri, bahkan ketentuan undang-undang ternyata tidak memberi kepastian untuk diterapkan dalam pelaksanaan pemungutan pajak secara nyata. Selanjutnya jika tidak terjamin terlaksananya asas kepastian hukum, seyogyanya terjamin terlaksananya asas keadilan yang tidak kalah pentingnya sebagai salah satu asas dalam pemungutan pajak oleh negara. Pajak memang perlu bagi negara, akan tetapi sebagai negara hukum, konsekuensinya adalah rakyat harus mendapatkan jaminan untuk memperoleh kepastian hukum serta keadilan. Ketidakadilan dalam pelaksanaan pemungutan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak-hak atas tanah dan atau bangunan itu dengan jelas dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut : (1) dasar pengenaan pajak yang menurut undang-undang seharusnya adalah tambahan kemampuan ekonomis atau penghasilan neto tidak diterapkan dalam pelaksanaan pemungutan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak-hak atas tanah dan/atau bangunan, (2) ukuran yang harus dipakai untuk "ability to pay" adalah seluruh jumlah penghasilan neto ("the global amount of ability to pay") juga tidak diterapkan dalam pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak-hak atas tanah dan atau bangunan, (3) bagi semua Wajib Pajak, biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak untuk merealisasikan penghasilan yang dikenakan pajak, seharusnya diperkenankan untuk dikurangkan dalam menghitung penghasilan yang dikenakan pajak, ternyata dalam kenyataannya tidak diperkenankan, (4) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang mendapat penghasilan dari penjualan hak-hak atas tanah dan atau bangunan seharusnya menurut undang-undang diberikan pengurangan sejumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak (PTKP), namun dalam sistem yang sekarang diterapkan, tidak diberikan pengurangan semacam itu, (5) menurut Undang-undang Pajak Penghasilan semua Wajib Pajak apapun jenis penghasilan yang diterima, apabila jumlah penghasilannya sama, seharusnya dikenakan pajak dengan tarif pajak yang sama, namun tidak diterapkan atas penghasilan dari transaksi hak-hak atas tanah dan/atau bangunan, (6) Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur suatu struktur tarif pajak progresif, sehingga bagi Wajib Pajak yang berpenghasilan lebih tinggi dikenakan pajak dengan tarif yang lebih tinggi, sehingga terjadi redistribusi penghasilan untuk menciptakan pembagian penghasilan yang lebih adil, (7) besarnya tarif seharusnya digantungkan kepada jumlah total penghasilan neto yang diterima, sedang dalam sistem yang berlaku sekarang, besarnya tarif tetap saja, sehingga tidak ada keadilan karena pajak dikenakan dari tarif tertentu dan bukan dari setiap tambahan kemampuan ekonomis/penghasilan (Pay as you earn).