Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Dalam Penyelesaian Utang Piutang Yang Berkeadilan
Main Authors: | Iryani, Dewi, Prof. Dr. Suhariningsih,, S.H., SU, Hanif Nur Widhiyanti,, SH., M.Hum., Ph.D,, Dr. Bambang Winarno,, S.H., MS. |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195563/1/Dewi%20Iryani.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195563/ |
Daftar Isi:
- Pada Disertasi ini, penulis mengangkat Problema Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berkeadilan pada Undang-Undang Kepailitan dan PKPU masih memuat tidak adanya keadilan baagi debitor dan kreditor terutama pada permohonan PKPU yang sangat mudah karena pemohon PKPU cukup membuktikan adanya minimal dua kreditor dan salah satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal itu berakibat bahwa debitor yang mempunyai asset lebih banyak daripada utang namun harta dapat dengan mudahnya menjadi pailit. Apabila debitor dalam keadaan pailit tentu saja hal tersebut akan merugikan debitor dan kreditor karena debitor sudah tidak dapat lagi mengurus perusahaannya demikian juga dengan nasib kreditor terutama kreditor konkuren tidak akan mendapatkan pelunasan sesuai tagihan piutangnya. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu,Apakah hakekat pengaturan insolven pada debitor sebagai dasar permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?, Bagaimana kedudukan debitor dan kreditor dalam perjanjian utang piutang pada proses PKPU dan jika terjadi Pailit?Bagaimana seharusnya Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penyelesaian utang piutang yang mencerminkan rasa keadilan?Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengkaji beberapa peraturan perundang-undangan sebagai pelengkap. Adapun teori dalam penelitian ini adalah kepastian hukum, teori Hukum Pembangunan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan teori keadilan oleh John Rawls. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah Insolven pada Debitor sebagai dasar permohonan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Permohonan pailit tidak dikenal dalam sistem hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang dan dan kepailitan dalam penyelesaian Utang piutang yang mencerminkan rasa keadilan di mulai dengan adanya Insolvensi tes terlebih dahulu, kemudian bila terjadi Kepailitan peletakan sita terbatas pada Asset yang relevan tidak terhadap seluruh asset Debitor., PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitor untuk membuat laba. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitor, yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapatkan kredit, dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitor tersebut diberikan waktu dan kesempatan, besar harapan ia akan dapat membayar utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan kreditor. Jelas kiranya bahwa PKPU bukan dimaksudkan untuk kepentingan debitor saja, melainkan juga untuk kepentingan kreditor konkure,.Bahwa PKPU bukanlah hanya berfungsi sebagai pranata hukum untuk mengajukan rencana perdamaian meliputi pembayaran sebagian atau seluruh utang, lebih dari itu PKPU juga berfungsi sebagai pranata untuk mengatasi pembayaran utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih bagi debitor dalam kondisi insolvensi secara teknis (technically insolvent), sepanjang debitor tersebut masih memiliki kelayakan usaha yang prospektif, beriktikad baik (kejujuran dan kepatutan) dari pihak pengurus debitor maupun pemegang sahamnya, transparan serta akuntabel, tidak adanya keseimbangan kepentingan kreditor dan debitor dalam PKPU ditemukan baik dalam penelitian maupun dalam beberapa ketentuan kepailitan. Tes insolvensi (insolvency test) yang terdiri dari balance-sheet test; cash flow test/equity test dan analisis transaksional yang dilakukan oleh konsultan independen merupakan strategi hukum untuk mengatasi hal ini dengan tujuan agar kreditor memahami kondisi keuangan debitor yang sebenarnya, sehingga baik kreditor maupun debitor merasa memiliki kepentingan dan risiko yang sama sesuai prinsip creditors' bargain., Kreditor merasa terjamin atas pembayaran piutangnya dan debitor akan merasa terlindungi jika para kreditor menyetujui untuk diberikan kesempatan melanjutkan usahanya. Kedudukan Debitor dalam perikatan pada umumnya masih mempunyai kekuasaan terhadap seluruh asset tersebut dalam artian debitor masih bisa menjual atau mengalihakan asset tersebut dengan leluasa, dikecualikan adalah asset yang dibebani hak tanggungan, sedang dalam perikatan utang piutang yang dipailitkan maka Debitor kehilangan hak tersebut, karena prinsip dari kepalititan adalah sita umum umum terhadap seluruh asset Debitor, dengan demikian Debitor kehilangan hak untuk menggurus dan mengelola asset tersebut. Kewenangan Pengelolaan asset tersebut berada dibawah kekuasaan kurator yang ditunjuk oleh Putusan pegadilan, yang dan dalam Pengawasan hakim pengawas, sampai dengan pemberesan boedel pailit selesai. Sedangkan Posisi Kreditor tetap cakap melakukan perbuatan hukum. Dan kreditor berkedudukan sesuai dengan posisinya artinya ada kreditor Separatis, Kreditor Preferen dan Kreditor Konkuren, Untuk mencapai hal itu prinsip kepailitan tanpa melalui proses PKPU terlebih dahulu merupakan prinsip yang tidak tepat. PKPU dapat meningkatkan nilai perusahaan khususnya dalam hal keuangan dan laba perusahaan, sebaliknya tidak terjadi penjualan harta-harta debitor. Kepailitan merupakan sarana pamungkas setelah debitor gagal melakukan PKPU. Proses selama berlangsungnya PKPU tanpa ada ahli keuangan yang bisa membantu keadaan debitor makn memperburuk karena debitor dapat dengan mudahnya menjadi pailit. Perusahaan yang sehat kembali karena PKPU akan terhindar dari pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Laba usaha yang didapat akan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi debitor, kreditor, karyawan serta stakeholders. Hal ini berarti, hukum yang mengatur PKPU telah berfungsi sebagai alat perubahan dan pembaharuan masyarakat, setidaknya masyarakat ekonomi atau pelaku ekonomi yang sangat berperan dalam pembangunan hokum.