Kebijakan Formulasi Deferred Prosecution Agreement Dalam Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Di Indonesia

Main Authors: Alfedo, Juan Maulana, Dr. Bambang Sugiri,, S.H.,M.S., (Alfons Zakaria,, S.H.,LL.M
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2020
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195562/1/-%20Juan%20Maulana%20Alfedo%20%282%29.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195562/
Daftar Isi:
  • Pada skripsi ini mengangkat kebijakan formulasi Deferred Prosecution Agreement dalam tindak pidana korupsi penyuapan di Indonesia. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kekosongan hukum dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia yang mengatur mengenai Deferred Prosecution Agreement sebagai mekanisme penanganan tindak pidana korupsi penyuapan yang dilakukan oleh korporasi. Sehingga diperlukan adanya kebijakan formulasi Deferred Prosecution Agreement dalam tindak pidana korupsi penyuapan di Indonesia untuk mengatasi permasalahan kekosongan hukum yang ada, sekaligus dalam rangka menciptakan penanganan tindak pidana korupsi penyuapan oleh korporasi yang lebih efektif dan efisien. Berdasarkan latar belakang tersebut, skripsi ini mengangkat rumusan masalah: (1) Apa urgensi pengaturan Deferrred Prosecution Agreement dalam tindak pidana korupsi penyuapan di Indonesia? (2) Bagaimana kebijakan formulasi Deferred Prosecution Agreement dalam tindak pidana korupsi penyuapan di Indonesia? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Selanjutnya bahan hukum primer, sekunder tersier yang digunakan diperoleh dari studi kepustakaan, studi dokumentasi dan studi internet. Sedangkan teknik analisis bahan hukum menggunakan intepretasi gramatikal dan intepretasi sistematis. Hasil dari penelitian ini adalah memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa urgensi pengaturan Deferred Prosecution Agreement dalam tindak pidana korupsi penyuapan di Indonesia yakni pertama, untuk meningkatkan efektivitas pembayaran ganti rugi oleh korporasi. Kedua, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penanganan tindak pidana korupsi penyuapan oleh korporasi. Ketiga, untuk mengurangi jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan. Keempat, untuk meningkatkan kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam mengidentifikasi dan menangani tindak pidana korupsi penyuapan oleh korporasi. Kelima, untuk mewajibkan korporasi melakukan pembenahan secara sukarela. Keenam, untuk memberikan peluang bagi korporasi sebagai justice collaborator. Kebijakan formulasi Deferred Prosecution Agreement yang dirumuskan ialah subjek hukum yang dapat masuk ke Deferred Prosecution Agreement dengan Jaksa Penuntut Umum, Kewenangan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam Deferred Prosecution Agreement, isi Deferred Prosecution Agreement, serta Pelanggaran isi Deferred Prosecution Agreement yang dapat berakibat Deferred Prosecution Agreement di hentikan, proses penuntutan dilanjutkan, serta ganti rugi dan restitusi yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan. Selain itu kebijakan formulasi Deferred Prosecution Agreement yang dirumuskan ialah untuk menangani tindak pidana korupsi penyuapan aktif yang subjeknya korporasi sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi