Rekonstruksi Pengaturan Pajak Penghasilan Atas Usaha Jasa Konstruksi Yang Berasas Keadilan

Main Authors: Tambunan, Ruston, Prof. Dr. Sudarsono,, S,H., M.S., Prof. Dr. Abd. Rachmad Budiono,, S.H., M.H., Dr. Abdul Madjid,, S.H., M.Hum.
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195534/1/Ruston%20Tambunan.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195534/
Daftar Isi:
  • Peraturan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku saat ini untuk penghasilan dari usaha jasa konstruksi di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009. Peraturan tersebut tidak menyebut aspek keadilan dalam konsideransnya. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh dengan tarif tersendiri terhadap penghasilan bruto dan bersifat final, berbeda dengan tarif umum PPh yang dikenakan terhadap penghasilan neto. Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penelitian disertasi ini untuk menjawab 3 (tiga) rumusan masalah; (1) Mengapa ketentuan Pajak Penghasilan atas usaha jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam PP 51 Tahun 2008 yang telah diubah dengan PP 40 Tahun 2009 tidak mencerminkan asas keadilan? (2) Apa implikasi hukum dari pengaturan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang tidak mencerminkan asas keadilan?, dan (3) Bagaimana sebaiknya ketentuan Pajak Penghasilan atas usaha jasa konstruksi diatur agar lebih mencerminkan asas keadilan? Metode penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Sementara itu bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan teknik analisis preskriptif analitik (prescriptive analytics). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan jasa konstruksi yang berlaku saat ini tidak mencerminkan keadilan vertikal (vertical equity) yang menghendaki bahwa dasar pengenaan PPh yang adil adalah dari penghasilan neto karena merupakan ukuran yang tepat dalam mencerminkan daya pikul atau kemampuan membayar (ability to pay). Selain itu pengenaan PPh dengan tarif tersendiri yang berbeda dengan tarif umum merupakan ketentuan yang diskriminatif karena membeda-bedakan pengenaan PPh berdasarkan jenis atau sumber penghasilan. Hal ini menyimpang dari prinsip keadilan horizontal (horizontal equity). Ketentuan yang bersifat final ini berimplikasi pada hilangnya beberapa hak Wajib Pajak yaitu: hak untuk membayar PPh sesuai dengan kemampuannya, hak untuk mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, hak untuk mengkompensasi kerugian, serta hak untuk memperoleh fasilitas penurunan tarif PPh sebesar 5% bagi perusahaan terbuka yang memperdagangkan sedikitnya 40% dari jumlah modal yang disetor di Bursa Efek Indonesia. Selanjutnya ketentuan ini juga menimbulkan adanya tambahan objek pengenaan PPh Pasal 21 kepada pegawai dalam hal menerima imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari perusahaan jasa konstruksi tempatnya bekerja. Pertimbangan terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut semata-mata hanya kesederhanaan pengenaan PPh dan kemudahan bagi Wajib Pajak, tidak menyebut sama sekali aspek keadilan. Penulis menyarankan agar bagi Wajib Pajak pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan yang berdasarkan ketentuan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan serta bagi pengusaha jasa konstruksi perorangan yang tidak diwajibkan tetapi mampu menyelenggarakan pembukuan, diberlakukan ketentuan pengenaan PPh dari penghasilan neto dengan tarif umum PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf (a), Pasal 17 ayat (2a) atau Pasal 31E UU PPh 2008 dan tidak bersifat final. Sementara itu Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final dengan tarif tersendiri sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh 2008 serta dasar pengenaannya dari penghasilan bruto seyogianya hanya diberlakukan terhadap Wajib Pajak pengusaha jasa konstruksi orang pribadi yang peredaran brutonya tidak lebih dari Rp.4.800.000.000 dalam 1 (satu) tahun pajak dan belum mampu menyelenggarakan pembukuan. Namun demikian pengenaan PPh final tersebut harus dibatasi hingga jangka waktu tertentu sebagai masa pembelajaran untuk dapat menyelenggarakan pembukuan sebelum dikenai PPh dengan tarif umum. Tarifnya disetarakan dengan tarif PPh final yang berlaku untuk Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Selanjutnya penulis juga merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR mengubah ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh 2008 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengenakan penghasilan tertentu dengan pajak yang bersifat final dengan mempertimbangkan bahwa pengenaan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi seyogianya diberlakukan hanya bagi Orang Pribadi yang belum sanggup menyelenggarakan pembukuan sampai dengan jangka waktu tertentu sebagai masa transisi pembelajaran pembukuan. Selain itu Pemerintah hendaknya menghapus ketentuan yang membeda-bedakan tarif PPh berdasarkan pemilikan sertifikasi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi.