Pengalaman Narapidana Pelaku Human Trafficking Di Lembaga Pemasyarakatan (Lp) Wanita Kelas Iii Kupang Kanwil Nusa Tenggara Timur
Main Authors: | Feoh, Fepyani Thresna, Dr. dr. Tita Hariyanti,, M.Kes, Dr. Yulian Wiji Utami,, S.Kp., M.Kes |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195312/1/FEPYANI%20THRESNA%20FEOH.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195312/ |
Daftar Isi:
- Kejahatan merupakan fenomena sosial yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah, terutama kejahatan yang dilakukan oleh kaum perempuan yang dewasa ini kuantitasnya semakin meningkat. Menurut data Bareskrim Polri, provinsi NTT merupakan provinsi dengan kasus human trafficking tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2016 terdapat 400 kasus, dan tahun 2017 terdapat 137 kasus human trafficking yang berhasil terungkap ke publik. Dengan diketahuinya korban tersebut, telah banyak pelaku human traffcking yang tertangkap dan menerima hukuman dalam Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat yang stressfull dan dapat berpengaruh terhadap fisik dan kejiwaan (psikis) narapidana, serta merupakan suatu tempat yang dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama masalah kejiwaan narapidana perempuan. Berstatus narapidana merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan stres pada narapidana perempuan. Stres tersebut tidak hanya berasal dari dalam diri narapidana sendiri, namun juga berasal dari keluarga dan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan atau penjara. Stresor yang diperoleh menyebabkan perubahan dalam kehidupan narapidana perempuan yang akhirnya memaksa narapidana untuk beradaptasi atau menyesuaikan dirinya sehingga tercipta suatu kemampuan untuk mengatasi stres. Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengatasi stres. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan stresor dan mampu mengatasi stres dengan baik. Stresor yang diterima dan cara mengatasi stres menciptakan pengalaman dan perasaan tersendiri bagi narapidana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman narapidana pelaku human trafficking di lembaga pemasyarakatan (LP). Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretif. Fenomenologi interpretif untuk menemukan makna makna atau esensi dari pengalaman yang dialami oleh narapidana kemudian diiterpretasikan. Lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan (LP) wanita kelas III Kupang, kantor wilayah Nusa Tenggara Timur. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang narapidana pelaku human trafficking. Teknik pengambilan data melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Lama wawancara berkisar antara 40-60 menit dengan menggunakan alat bantu perekam Handphone seluler. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik analisa data yang dikemukakan oleh Smith dan Osborn yang dikenal dengan Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Teknik ini terdiri atas 7 langkah analisa data dan ditemukan hasil berupa 12 tema, yaitu keinginan untuk menolong orang lain, bertanggung jawab atas kebutuhan hidup keluarga, tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah pimpinan, merasa kecewa karena masuk penjara, merasa bersalah pada anak, merasa khawatir dengan tanggapan orang-orang setelah keluar dari penjara, merasa takut tidak mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari penjara, kehilangan makna hidup, penjara tidak seperti yang ada dalam pemikiran banyak orang, menyadari kesalahan ketika dalam penjara, mendapatkan dukungan untuk berubah menjadi lebih baik, tidak ingin terlibat lagi dalam pekerjaan TKI ilegal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa narapidana perempuan pelaku human trafficking mengalami berbagai masalah psikologis stres yang tidak disadari dapat berpengaruh pada status kesehatan jiwa narapidana jika tidak diatasi dengan mekanisme koping yang tepat. Berbagai masalah tersebut berupa perasaan kecewa karena dipenjara, khawatir terhadap tanggapan orang-orang, takut tidak mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari penjara, menjadikan narapidana kehilangan makna hidup dan merasa ix tidak berarti. Tidak semua pengalaman terpenjara membawa dapak negatif bagi partisipan. Pengalaman terpenjara menjadikan partisipan menyadari akan kesalahannya dan partisipan jadi mengetahui bahwa penjara tidak seperti yang selama ini ada dalam pemikiran banyak orang. Hal ini dimanfaatkan sebagai mekanisme koping yang tepat untuk dapat menerima keadaan dan beradaptasi dengan lingkungan penjara, sehingga narapidana tidak mengalami stres yang berkepanjangan. Dukungan dari para sipir, teman-teman narapidana dalam penjara, para pemuka agama yang selalu memberikan konseling dan bimbingan rohani, serta keluarga dan kerabat yang selalu menjenguk, dimanfaatkan sebagai sumber koping yang menjadikan narapidana memiliki harapan yang baik untuk masa depannya setelah bebas, yaitu narapidana tidak ingin terlibat lagi dalam pekerjaan TKI ilegal yang telah menjerumuskannya dalam penjara