Evaluasi Kegagalan Kebuntingan Hasil Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Beku Dosis Tunggal Dan Dosis Ganda Pada Sapi Peranakan Friesian Holstein
Main Authors: | Damayanti, Dinda Ayu, Prof. Dr. Ir. Tinil Susilawati, ,MS., IPU., ASEAN Eng, Aulia Puspita Anugra Yekti, S.Pt., Mp., M.Sc |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2022
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195004/1/DINDA%20AYU%20DAMAYANTI.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/195004/ |
Daftar Isi:
- Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Sapi Perah Rakyat “KOP SAE PUJON”, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus-Januari 2022. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kegagalan kebuntingan hasil inseminasi buatan (IB) yang meliputi Non Return Rate (NRR), Conception Rate (CR), dan Pregnancy Rate (PR) serta mengetahui faktor kegagalan kebuntingan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) setelah dilakukan IB dengan menggunakan semen beku dosis tunggal dan dosis ganda pada sapi peranakan friesian holstein (PFH). Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi PFH sebanyak 198 ekor, dengan kriteria memiliki nilai BCS minimal 2,75-4 (skor 1-5). Betina yang dipilih menjadi akseptor diberikan perlakuan inseminasi dengan menggunakan semen beku dosis tunggal pada 100 ekor sapi dan semen beku dosis ganda pada 98 ekor sapi. Semen beku yang digunakan dalam penelitian ini merupakan semen yag berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka keberhasilan kebuntingan pada sapi perah PFH ditinjau dari nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis ganda berturut-turut yaitu 81,63% dan 62%, sedangkan nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis tunggal berturu-turut adalah 79% dan 62%. Ditinjau dari nilai CR dan PR perlakuan dosis tunggal memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 49% dan 59%, sedangkan pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai yang lebih rendah yaitu 48,41% dan 57,14%. Pada kedua perlakuan didapatkan beberapa penyebab kegagalan kebuntingan diantaranya adalah kawin berulang sebanyak 41 ekor pada perlakuan dosis tunggal dan 42 ekor pada perlakuan dosis ganda. Pada pemeriksaan ovarium dengan menggunakan USG ditemukan faktor-faktor kegagalan kebuntingan lainnya berupa kegagalan reproduksi pada perlakuan dosis tunggal seperti ovarium normal 37(90,24%), hipofungsi ovary 1(2,43%), corpus luteum persisten 3(7,32%), dan pada perlakuan dosis ganda terdapat ovarium normal 39(92,86%), hipofungsi ovary 2(7,76%), dan corpus luteum persisten 1(1,02%). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tampilan reproduksi sapi perah peranakan friesian holstein dengan perlakuan IB dengan dosis ganda memiliki hasil yang lebih baik ditinjau dari nilai NRR1, NRR2, CR, PR serta kondisi ovarium. Kegagalan IB yang ada lebih banyak semen beku dosis tunggal pada 100 ekor sapi dan semen beku dosis ganda pada 98 ekor sapi. Semen beku yang digunakan dalam penelitian ini merupakan semen yag berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka keberhasilan kebuntingan pada sapi perah PFH ditinjau dari nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis ganda berturut-turut yaitu 81,63% dan 62%, sedangkan nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis tunggal berturu-turut adalah 79% dan 62%. Ditinjau dari nilai CR dan PR perlakuan dosis tunggal memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 49% dan 59%, sedangkan pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai yang lebih rendah yaitu 48,41% dan 57,14%. Pada kedua perlakuan didapatkan beberapa penyebab kegagalan kebuntingan diantaranya adalah kawin berulang sebanyak 41 ekor pada perlakuan dosis tunggal dan 42 ekor pada perlakuan dosis ganda. Pada pemeriksaan ovarium dengan menggunakan USG ditemukan faktor-faktor kegagalan kebuntingan lainnya berupa kegagalan reproduksi pada perlakuan dosis tunggal seperti ovarium normal 37(90,24%), hipofungsi ovary 1(2,43%), corpus luteum persisten 3(7,32%), dan pada perlakuan dosis ganda terdapat ovarium normal 39(92,86%), hipofungsi ovary 2(7,76%), dan corpus luteum persisten 1(1,02%). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tampilan reproduksi sapi perah peranakan friesian holstein dengan perlakuan IB dengan dosis ganda memiliki hasil yang lebih baik ditinjau dari nilai NRR1, NRR2, CR, PR serta kondisi ovarium. Kegagalan IB yang ada lebih banyak semen beku dosis tunggal pada 100 ekor sapi dan semen beku dosis ganda pada 98 ekor sapi. Semen beku yang digunakan dalam penelitian ini merupakan semen yag berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka keberhasilan kebuntingan pada sapi perah PFH ditinjau dari nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis ganda berturut-turut yaitu 81,63% dan 62%, sedangkan nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis tunggal berturu-turut adalah 79% dan 62%. Ditinjau dari nilai CR dan PR perlakuan dosis tunggal memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 49% dan 59%, sedangkan pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai yang lebih rendah yaitu 48,41% dan 57,14%. Pada kedua perlakuan didapatkan beberapa penyebab kegagalan kebuntingan diantaranya adalah kawin berulang sebanyak 41 ekor pada perlakuan dosis tunggal dan 42 ekor pada perlakuan dosis ganda. Pada pemeriksaan ovarium dengan menggunakan USG ditemukan faktor-faktor kegagalan kebuntingan lainnya berupa kegagalan reproduksi pada perlakuan dosis tunggal seperti ovarium normal 37(90,24%), hipofungsi ovary 1(2,43%), corpus luteum persisten 3(7,32%), dan pada perlakuan dosis ganda terdapat ovarium normal 39(92,86%), hipofungsi ovary 2(7,76%), dan corpus luteum persisten 1(1,02%). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tampilan reproduksi sapi perah peranakan friesian holstein dengan perlakuan IB dengan dosis ganda memiliki hasil yang lebih baik ditinjau dari nilai NRR1, NRR2, CR, PR serta kondisi ovarium. Kegagalan IB yang ada lebih banyak semen beku dosis tunggal pada 100 ekor sapi dan semen beku dosis ganda pada 98 ekor sapi. Semen beku yang digunakan dalam penelitian ini merupakan semen yag berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka keberhasilan kebuntingan pada sapi perah PFH ditinjau dari nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis ganda berturut-turut yaitu 81,63% dan 62%, sedangkan nilai NRR1 dan NRR2 pada perlakuan dosis tunggal berturu-turut adalah 79% dan 62%. Ditinjau dari nilai CR dan PR perlakuan dosis tunggal memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 49% dan 59%, sedangkan pada perlakuan dosis ganda memiliki nilai yang lebih rendah yaitu 48,41% dan 57,14%. Pada kedua perlakuan didapatkan beberapa penyebab kegagalan kebuntingan diantaranya adalah kawin berulang sebanyak 41 ekor pada perlakuan dosis tunggal dan 42 ekor pada perlakuan dosis ganda. Pada pemeriksaan ovarium dengan menggunakan USG ditemukan faktor-faktor kegagalan kebuntingan lainnya berupa kegagalan reproduksi pada perlakuan dosis tunggal seperti ovarium normal 37(90,24%), hipofungsi ovary 1(2,43%), corpus luteum persisten 3(7,32%), dan pada perlakuan dosis ganda terdapat ovarium normal 39(92,86%), hipofungsi ovary 2(7,76%), dan corpus luteum persisten 1(1,02%). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tampilan reproduksi sapi perah peranakan friesian holstein dengan perlakuan IB dengan dosis ganda memiliki hasil yang lebih baik ditinjau dari nilai NRR1, NRR2, CR, PR serta kondisi ovarium. Kegagalan IB yang ada lebih banyak disebabkan oleh manajemen pemeliharaan dibandingkan dengan gangguan kondisi ovarium.