Analisis Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Barotrauma Pada Nelayan Penyelam Tradisional Di Pulau Tasipi Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara

Main Authors: Fatimah, Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes., Dr. Asti Melani Astari, S.Kp., M.Kep, Sp.Mat.
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193493/1/FATIMAH.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193493/
Daftar Isi:
  • Barotrauma sebagai salah satu komplikasi kegawatdaruratan penyelaman. Prevalensi kejadian barotrauma di dunia mencapai 7-35 kejadian dari 10.000 penyelam yang menggunakan alat bantu dengan 5-152 kejadian dari 100.000 penyelaman yang dilakukan. Mortalitas pasien barotrauma mencapai 0.3-1.3 dari 10.000 orang dan angka morbiditasnya mencapai 24-27 dari 304 orang yang menggunakan alat bantu pernapasan saat menyelam. Pulau Tasipi merupakan salah satu pulau dari tujuh pulau di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan penyelam tradisional. Para nelayan tradisional di pulau Tasipi mempunyai permasalahan kesehatan utama berupa barotrauma. Fenomena Berdasarkan data statistik kelautan dan perikanan tahun 2017 menyatakan bahwa Pulau Tasipi adalah salah satu pulau dengan jumlah nelayan penyelam tradisional terbanyak diantara enam pulau lainnya yang banyak menderita barotrauma dengan jumlah 87 orang nelayan. Adapun barotrauma yang terjadi berupa tipe 1 hingga 3. Hasil observasi peneliti dilapangan menemukan terdapat 3 orang nelayan telah mengalami kelumpuhan total. Hal ini juga didukung dengan kurangnya sumber daya berupa tenaga kesehatan yang minim dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Kondisi ini yang meyebabkan sulitnya masyarakat pulau Tasipi untuk mengakses dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Hasil wawancara dari 10 orang nelayan tradisional menyatakan bahwa kasus barotrauma bukanlah sebuah penyakit yang serius yang membutuhkan penanganan medis. Bahkan, terdapat kepercayaan lokal yang melarang masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat di pulau Tasipi. Barotrauma dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, IMT, masa kerja, waktu penyelaman, kecepatan naik, waktu istirahat, kedalaman penyelaman, frekuensi menyelam, riwayat penyakit dan penggunaan kompresor. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh usia, IMT, masa kerja, waktu penyelaman, kecepatan naik, waktu istirahat, kedalaman penyelaman, frekuensi menyelam, riwayat penyakit dan penggunaan kompresor terhadap kejadian barotrauma pada nelayan penyelam tradisional di pulau Tasipi kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan case control. Jumlah responden sebanyak 174 orang nelayan penyelam tradisional secara total sampling. Penelitian ini dilaksanakan di pulau Tasipi Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara pada 23 November-5 Desember 2018. Uji Chi Square dan Fisher menunjukkan pengaruh yang signifikan antara faktor usia (p=0.002, OR=2.78), IMT (p=0.018, OR=0.45), waktu penyelaman (p=0.000, OR=345), frekuensi penyelaman (p=0.000, OR=5.48), kedalaman penyelaman (p=0.015, OR=2.22), kecepatan naik (p=0.000, OR=4.09), faktor riwayat penyakit (p=0.006, OR=2.47) dan penggunaan kompresor (p=0.000, OR=16.29) dengan kejadian kejadian barotrauma pada nelayan penyelam tradisional di pulau Tasipi kabupaten Muna Barat. Terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara masa kerja (p=0.443, OR=0.386) dan waktu istirahat (p= 0.621, OR=3.071) dengan kejadian barotrauma. Uji regresi logistik menunjukkan bahwa penggunaan kompresor adalah faktor yang paling berpengaruh kejadian barotrauma pada nelayan penyelam tradisional di pulau Tasipi kabupaten Muna Barat dengan nilai Exp(B) sebesar 15.23. Umur lebih dari 40 tahun mengalami penurunan fingsi tubuh terutama paru- paru yang beresiko mengalami barotrauma. IMT yang tidak ideal berkaitan dengan kadar lemak tubuh yang dapat mempengaruhi kapasitas total paru. Adanya penurunan kapasitas total paru dapat berisiko mengalami barotrauma. Masa kerja sebagai nelayan tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian barotrauma. Hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor lain berupa lama, kecepatan serta kedalaman menyelam. Waktu menyelam lebih dari 30 menit beresiko mengalami barotrauma. Hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan tekanan di dalam laut serta konsumsi gas menggunakan alat bantu penyelaman. Frekuensi menyelam lebih dari 2 kali sehari beresiko mengalami barotrauma. Hal ini berkaitan dengan konsumsi gas yang berlebihan pada alat bantu penyelaman. Waktu istirahat tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian barotrauma. Hal ini berkaitan dengan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhinya seperti lama, kecepatan dan kedalaman menyelam. Kedalaman menyelam lebih dari 10 meter dapat meningkatkan resiko terjadi barotrauma. Hal ini berkaitan dengan tekanan di dalam laut dan konsumsi gas yang berlebihan. Kecepatan naik lebih dari 9 meter/menit beresiko mengalami barotrauma. Hal ini berkaitan dengan konsumsi oksigen yang berlebihan dan adaya rapid buble formation. Riwayat penyakit dapat meningkatkan resiko barotrauma. Riwayat penyakit seperti asma dapat mempengaruhi kapasitas total paru. Penggunaan kompresor dapat menjadi penyebab utama kejadian barotrauma. Kompresor yang digunakan tidak memenuhi standar keamanan dalam menyelam. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor ini, tenaga kesehatan terutama perawat dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait bahaya penggunaan kompresor yang tidak sesuai dengan standar keamanan sehingga menekan terjadi kasus barotrauma kedepannya.