Pengaruh Makanan Siap Saji Internasional Dan Makanan Siap Saji Khas Indonesia Terhadap Perubahan Kadar Ghrelin Plasma Dan Skor Visual Analogue Scale Satiety Pada Laki- Laki Dewasa Dengan Obesitas

Main Authors: Abednego, Ruben Timothy, Dian Handayani,, SKM, M.Kes., PhD, Dr. dr. Sri Andarini,, M.Kes
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193233/1/RUBENT~1.PDF
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193233/
Daftar Isi:
  • Obesitas merupakan kondisi dimana lemak tubuh terakumulasi dan juga faktor risiko terjadinya penyakit kronis seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus, dan kanker. Pada awalnya, masalah ini menjadi fokus hanya di negara-negara maju tetapi masalah ini juga menjadi fokus berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, prevalensi obesitas terus meningkat dari tahun ke tahun. Persentase jumlah laki-laki maupun wanita dewasa lebih dari 18 tahun dengan obesitas meningkat cukup signifikan, yakni pada laki-laki dari 13,8% menjadi 19,7% sementara pada wanita dari 14,8% menjadi 32,9% pada tahun 2013. Obesitas diakibatkan oleh bergesernya homeostasis energi ke arah positif. Otak manusia berperan penting dalam proses pengaturan homeostasis energi, salah satunya melalui mekanisme stimulasi rasa lapar, kenyang, keinginan untuk makan, dan keinginan untuk makan dalam jumlah besar dimana hal tersebut dikendalikan oleh berbagai hormon pada sistem endokrin. Hormon yang ikut mengatur keseimbangan energi ini adalah ghrelin. Ghrelin adalah hormon endogen yang diproduksi oleh duodenum, jejunum dan paling banyak oleh kelenjar oksintik yang berada di lambung bagian fundus yakni sel X/A. Ghrelin dihasilkan melalui proses transkripsi, translasi, dan modifikasi post translasi dari gen ghrelin, dimana hasil akhirnya berupa dua bentuk hormon yang tersirkulasi di dalam plasma, yakni des-acylated ghrelin (DAG) dan acylated ghrelin (AG) yang merupakan hasil dari katalisasi DAG oleh enzim ghrelin o-acyl-transferase (GOAT). Kedua hormon ini berfungsi dalam pengaturan jalur homeostasis energi yang berbeda. Acylated ghrelin bekerja di jalur sentral menembus sawar darah otak menuju ke hipotalamus dan perifer melalui nervus vagus. Di hipotalamus, ghrelin mengaktivasi nukleus arkuata (ARC) dan nukleus paraventrikel. Nukleus yang terekspresi AG mengirim sinyal balik melalui ARC, akan meningkatkan rasa lapar, keinginan untuk makan, dan keinginan untuk makan dalam jumlah besar, dan akan menekan rasa lapar melalui serangkaian mekanisme. Di sisi lain, mekanisme kerja hormon DAG berkebalikan dengan AG dan berfungsi sebagai antagonis dari hormon AG. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang melihat perbedaan antara kadar AG pada laki-laki dewasa dengan obesitas yang diberi makanan siap saji internasional dengan khas Indonesia dan diukur melalui pengambilan plasma darah pada preprandial, 30, 60, dan 120 menit post prandrial. Kemudian, dilakukan juga peniliaian secara subjektif dengan menggunakan skor visual analogue scale (VAS) satiety untuk melihat hubungannya dengan kadar hormon ghrelin untuk menilai hunger, fullness, desire to eat, dan prospective food consumption. Penelitian ini menggunakan 16 orang responden laki-laki dewasa dengan status gizi obesitas. Desain penelitian ini menggunakan desain true experimental dimana dua kelompok responden akan dibandingkan kadar hormon ghrelin dan skor visual analogue scale sebelum dan setelah mengkonsumsi makanan siap saji internasional dan khas Indonesia. Responden akan diminta untuk makan terakhir pada pukul 21.00 dimana menu tersebut mengandung 25% kebutuhan energi dan dipuasakan. Lalu, pada pagi harinya, responden diambil darahnya dan mengisi form VAS satiety pada menit ke 0, 30, 60, dan 120 menit. Hal tersebut dilakukan pada kedua kelompok responden. Data yang diperoleh (kadar ghrelin, skor VAS Q1 (hunger), Q2 (fullness), Q3 (desire to eat), dan Q4 (prospective food consumption) dianalisis dengan uji beda, uji T tidak berpasangan dan Mann-Whitney, dan uji korelasi, Pearson dan Spearman. Analisis penelitian menunjukkan perbedaan bermakna pada menit ke-0, 30, dan 60 pada ghrelin plasma dimana kadar ghrelin plasma mencapai puncak pada menit ke-30 (p<0.01). Tidak terdapat perbedaan skor VAS satiety pada semua rentang waktu dan pada vii dua kelompok responden (p>0.05). Tidak didapatkan korelasi antara kadar ghrelin plasma dan skor VAS satiety kecuali pada responden yang mengonsumsi makanan siap saji internasional di menit ke-30. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kadar ghrelin plasma pada responden dengan obesitas berbeda bermakna bila diberi jenis makanan dengan kandungan zat gizi yang berbeda. Lemak dan karbohidrat akan menekan kadar ghrelin plasma sementara protein justru akan meningkatkan kadar ghrelin plasma. Di sisi lain, skor VAS tidak berbeda bermakna pada dua kelompok responden. Hal ini dikarenakan skor VAS merupakan skala pengukuran yang bersifat subjektif dan dipengaruhi berbagai faktor seperti densitas energi makanan yang rendah. Sejalan dengan hal ini, kadar ghrelin plasma tidak berhubungan dengan skor VAS satiety. Kondisi ini kemungkinan terjadi karena adanya mekanisme resistensi leptin yang mempengaruhi kinerja hormon ghrelin dan skor VAS sehingga pemberian dua makanan siap saji yang berbeda kandungan zat gizi makronya tidak memberikan efek kenyang pada kedua kelompok responden