Korelasi Antara Kortisol Saliva Dan TNF-α Saliva Pasien Eritema Nodosum Leprosum

Main Authors: Nugroho, Alfonsus Rendy Laksditalia, dr. Aunur Rofiq, Sp.KK (K), dr. Herwinda Brahmanti, Msc., Sp.KK
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193213/1/Alfonsus%20Rendy%20Laksditalia%20Nugroho.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193213/
Daftar Isi:
  • Eritema nodosum leprosum merupakan suatu komplikasi penyakit kusta yang dimediasi imun, suatu sindroma kompleks imun yang terdiri atas IgG, IgM, Komplemen (C3) dan antigen Mycobacterium leprae. Merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 3 (Menurut Klasifikasi Coombs dan Gell). Sedangkan berdasarkan Ridley Jopling dari penyakit kusta diklasifikasikan sebagai reaksi kusta tipe 2. Penggunaan istilah ENL dikarenakan mayoritas lesi klinis yang umumnya ditemukan adalah tipe eritema nodosum. Penegakan diagnosis ditegakkan dengan didapatkannya kriteria mayor atau paling tidak kriteria minor dari Naafs, 2003 dan Lockwood, 2017. Menurut Global Leprosy Strategy 2016 - 2020 dari WHO, satu diantara tiga pilar inti yang disebutkan adalah koordinasi dan pembagian kerjasama dalam menghentikan kusta dan komplikasinya. Berkaitan dengan hal tersebut, komplikasi kusta, yaitu reaksi ENL masih menjadi permasalahan yang patut ditanggulangi terutama karena dapat pula menyebabkan kecacatan, seringkali membuat pasien merasa penyakitnya menjadi lebih parah, sehingga mempengaruhi kepatuhan berobat. Indonesia menempati penyumbang angka penderita kusta terbesar kedua di dunia. Jawa Timur, tempat dimana peneliti melakukan penelitian, merupakan wilayah endemis dengan NCDR masih tinggi yaitu 8,58% pada tahun 2017. Kortisol eksogen selama ini diberikan untuk mengatasi reaksi ENL, sehingga mulai dihipotesiskan keterlibatan kortisol dalam suatu reaksi ENL. Studi terpublikasi mendapatkan kadar kortisol menurun dan ada pula yang normal pada ENL .Diduga, cortisone-cortisol shuttle, paparan kronis sitokin, derajat inflamasi sitokin dan reseptor kortisol mempengaruhi peran kortisol dalam ENL. TNF-α terbukti diproduksi oleh makrofag dan neutrofil dalam reaksi ENL dalam beberapa penelitian, dan diketahui diantara sitokin lainnya, memegang peranan penting dalam patogenesis ENL. Penelitian in vitro sebelumnya menyatakan TNF-α diketahui memiliki kemampuan menurunkan kortisol dengan menghambat kemampuan stimulasi ACTH pada sel adrenal. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan antara kadar kortisol saliva dan TNF-α saliva pada pasien ENL. Hubungan antara kortisol dan TNF-α membuat studi mengenai dua variabel ini menarik diketahui dalam mengungkap pemahaman ENL yang patogenesisnya secara rinci belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar kortisol saliva dan kadar TNF-α saliva pada pasien ENL. Penelitian dilakukan di di Poliklinik dan Rawat Inap Kulit dan Kelamin RSUD dr. Saiful Anwar Malang dan RS Kusta (Daha Husada) Kediri dengan menggunakan desain penelitian potong lintang. Subyek penelitian dipilih secara consecutive sampling dan didapatkan total 30 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan telah disetujui komisi etik kedua rumah sakit , sesuai Deklarasi Helsinski. Dari 30 subyek penelitian didapatkan kadar kortisol terendah 0.020 μg/dL dan kadar kortisol tertinggi 0.476 μg/dL dengan rerata kadar kortisol saliva 0.21 ± 0.120 μg/dL. Dari 30 subyek penelitian didapatkan kadar TNF-α saliva terendah 18.670 ng/L dan kadar TNF-α tertinggi 302.713 ng/L dengan rerata kadar TNF-α 171.060 ± 86.550 ng/L. Uji Normalitas Kolmogorov-smirnov menghasilkan asumsi normalitas terpenuhi. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan korelasi negatif (r = - 0.441) signifikan secara statistik (P = 0.015) antara kadar kortisol saliva dan kadar TNF-α saliva dengan keeratan kuat. Korelasi bersifat negatif, yaitu semakin tinggi kadar TNF-α saliva, semakin rendah kadar kortisol saliva. Sebaliknya, semakin rendah kadar TNF-α saliva, semakin tinggi kadar kortisol saliva.