Peran Politisi Perempuan dalam Kontestasi Politik di Kabupaten Sikka (Studi Fenomenologi Terhadap Partisipasi Calon Legislatif Perempuan)

Main Author: Lio, Aseldi
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190811/1/ASELDI%20LIO%20%282%29.pdf
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190811/
Daftar Isi:
  • Sistem perwakilan sebagai bentuk moderen demokrasi mengisyaratkan terbukanya akses dan peluang yang sama bagi warga negara dalam aktivitas politik. Realitas politik menunjukkan bahwa pada kebanyakan sistem politik, perempuan menempati proporsi kecil dalam jabatan-jabatan politik. Secara umum perempuan relatif sedikit memiliki posisi kekuasaan dan pengaruh dalam kehidupan publik dibandingkan pria.hal ini dikarenakan anggapan perempuan sendiri bahwa politik itu kotor. Budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat seakan melanggengkan hal ini. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Memahami dan menganalisis pemaknaan caleg perempuan terhadap peran politisi perempuan, 2) Untuk menjelaskan makna pengalaman dan motivasi calon legislatif perempuan dalam kontestasi politik, 3). mendeskripsikan makna keberadaan caleg perempuan sebagai politisi perempuan dalam kontestasi politik Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif feminis liberal bersama dengan 7 orang partisipan politisi perempuan dari beberapa partai politik. Hasil penelitian menunjukan bahwa Politisi perempuan masing-masing mempunyai pemaknaan yang berbeda dalam pemahaman, motivasi dan juga pengalaman mereka dalam kontestasi politik. Ada politisi perempuan yang memaknai perannya sebagai seorang pejuang agenda gender dan penyalur aspirasi masyarakat tapi ada pula sebagiannya memaknai berbeda yakni untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ada beberapa hal yang membatasi fenomena mental para politisi perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di ranah politik yakni antara lain, pertama, tidak semua calon legislatif sebagai politisi perempuan memahami agenda tentang gender, kedua ketika politisi perempuan sudah memahami agenda tentang gender, namun belum tentu terpilih menjadi anggota legislatif karena agenda gendernya dan yang ketiga, setelah memahami agenda tentang gender dan terpilih menjadi anggota legislatif, para politisi perempuan tidak maksimal mengelola isu gender karena masih ada kendala-kendala kultural yang berkaitan dengan patriarki dan peran domestiknya. Oleh karena itu memperjuangkan agenda tentang isu-isu gender lebih berat dibandingkan dengan memperjuangkan isu-isu yang lainnya. Akibatnya ketika membicarakan tentang alokasi anggaran untuk Organisasi Perangkat Daerah yang mempunyai tupoksi pada bidang pemberdayaan perempuan dan anak, alokasi anggarannya sangat sedikit, karena yang memperjuangkannya juga sedikit.