Penggunaan Hukum Pidana sebagai Primum Remedium dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup
Main Author: | Bawole, Herlyanty Yuliana Angraeny |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190747/1/HERLYANTY%20YULIANA%20ANGRAENY%20BAWOLE%20%282%29.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190747/ |
Daftar Isi:
- Isu seputar kejahatan lingkungan telah menjadi perdebatan yang hangat di antara para akademisi, pencinta lingkungan, lembaga donor multilateral dan pengambil kebijakan di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai tanggapan terhadap eskalasi krisis lingkungan paada tahun 1970-an, Perserikatan Bangsa- Bangsa mulai menginisiasi pembentukan kerangka kerja hukum yang mengikat dan memuat standar Internasional untuk memitigasi kerusakan lingkungan melalui The United Nation Conference on Human Environment Conference ( sering disebut sebagai perjanjian Stockholm 1972). Menurut Jane Holder dan Maria Lee sebagian besar negara- negara tradisi civil law mulai mengembangkan dengan menempatkan sanksi administratif sebagai sanksi utama ( ultimum remedium). Dalam konteks inilah hukum pidana kehilangan otonominya. Dalam perkembangannya, sanksi administrasi dianggap kurang efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan karena tidak memiliki efek jera yang secara langsung dapat dirasakan para pelaku serta menuntut pengeluaran biaya dalam prespektif bisnis. Dalam konteks inilah perkembangan hukum lingkungan di berbagai negara mulai memandang hukum pidana sebagai instrumen utama penegakan lingkungan. Perkembangan praktik dan diskursus teoritis dalam bidang hukum lingkungan inilah yang menyebabkan lahirnya pengaturan baru bagi sanksi pidana sebagai primum remedium dalam penanggulangan kerusakan lingkungan hidup. Tujuan penentuan sanksi pidana dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kemanfaatan atas kepentingan sosial masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketidakefektivan pendekatan ini diperlihatkan dalam berbagai kegagalan Pemerintah mengatasi kasus-kasus pencemaran yang tetentang terus meningkat. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terbukti tidak v efektif mengingat bentuk sanksi-sanksi administratif yang diperkenalkan di dalamnya tidak didukung oleh kapasitas kelembagaan yang sejalan dengan agenda desentralisasi. Dalam konteks inilah pada tahun 2009 Pemerintah dan DPR mensahkan UU NO.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan ekosistem. Lemahnya penegakkan hukum lingkungan pada gilirannya menyebabkan korupsi yang sistematis yang dalam praktiknya sebagian berasal dari ijon politik perijinan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa makna dari primum remedium sebagai instrumen penegakkan tindak pidana lingkungan? Apa urgensi primum remedium untuk pertanggungjawaban mutlak (stricht liability) dalam tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup?Bagaimana konsep pengaturan kedepan primum remedium terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup? Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan metode analisis yuridis. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Makna dari primum remedium sebagai intrumen penanggulangan tindak pidana adalah meningkatkan kesadaran perkembangan terhadap hak asasi, yang membawa perubahan pada suatu pertanggungjawaban pidana tidak lagi bersifat ultimum remedium tapi primum remedium. Oleh sebab itu merupakan suatu keharusan semua manusia untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat, bersih dan berwawasan, karena kesadaran orang terhadap lingkungan adalah bagian dari hak asasi. Urgensi primum remedium terhadap pertanggungjawaban mutlak(stricth liability) dalam tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dimulai dari membangun budaya hukum,pengaturan lingkungan diarahkan pada penataan sukarela, pengaturan ekonomi lebih menyertakan penguatan civil societydan pelaku ekonomi yang saling berhubungan sehingga menciptakan penegakan hukum kedepan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Keadilan lingkungan yang dimaksudkan pada tindakan nyata adalah memperbaiki kelemahan- kelemahan yang ada, baik kelemahan struktural, substansi hukum dan budaya hukum. vi Efektivitas hukum tergantung pada hubungan peran penegak hukum dengan peran serta masyarakat yang ditentukan oleh empat faktor yakni: penerapan sanksi pidana, teknik penyelidikan, kuantitas pelaporan masyarakat, dan perlindungan para saksi oleh aparat penegak hukum. Upaya pencegahan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup sangat memerlukan faktor kepercayaan( sikap personal) penegak hukum yang bermuara pada etika moral penegak hukum yang dapat membangkitkan motivasi masyarakat untuk berperan serta. Komunikasi sosial antara penegak hukum dengan masyarakat, maka akan terjalin hubungan kerja (network line), sebagai salah satu bentuk jaringan informasi yang penting baik untuk kepentingan efektivitas penegakan hukum maupun untuk pengawasan sosial yang ada pada akhirnya tercipta sebuah institusi pengendalian sosial masyarakat. Konsep pengaturan kedepan dimulai dari membangun budaya hukum, pengaturan lingkungan lebih diarahkan pada penataan sukarela, pengaturan ekonomi lebih menyertakan penguatan civil society dan pelaku ekonomi dimana semua sektor terlibat dan saling berhubungan dalam hal penataan regulasi hukum lingkungan. Saran: Peran Pemerintah diperlukan dalam menegakkan keadilan karena penting untuk menciptakan sistem atau struktur sosial politik yang kondusif. Merubah paradigma pemidanaan yang bersifat susidair tersebut menjadi sesuatu yang primum remedium. Adanya peran serta berbagai pihak untuk melestarikan lingkungan, sehingga urgensi lingkungan hidup bagi manusia dapat sebagai tempat tinggal dan tempat beraktifitas. Jika prinsip primum remedium diterapkan dalam mekanisme penegakan hukum pidana melalui model scientific investigation yang artinya penyidikan dan penegakan hukum pidana dilakukan oleh orang- orang yang memiliki ketrampilan profesional di bidang lingkungan, sangatlah diperlukan adanya hubungan antara penegak hukum dan mayarakat, kebijakan atas bidang pemerintahan maupun non pemerintahan harus saling menunjang terhadap efektifitas penegakan hukum lingkungan.