Membangun Kewirausahaan Pemuda Indonesia Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Studi Di Desa Wukirsari, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Main Author: | Herawati, Susetya |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190718/1/SUSETYA%20HERAWATI%20%282%29.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/190718/ |
Daftar Isi:
- Ketertarikan peneliti dalam melakukan penelitian Membangun Kewirausahaan Pemuda Indonesia Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal adalah adanya Perda Kabupaten Bantul No. 4 Tahun 2011 Tentang RTRW dalam mengembangkan potensi wilayah dengan Slogan yang dimilikinya yaitu “Bantul The Harmony of Natural and Culture”. Pembangunan melalui pengambangan kawasan strategis ini seakan menjawab tantangan globalisasi, memberikan dampak pada aspek kehidupan masyakarat. Penetapan Desa Wisata Budaya Wukirsari seolah memberikan jawaban akan arti pentingnya mengembangkan budaya kearifan lokal melalui kewirausahaan. Kesungguhan pemerintah dalam mendukung kewirausahaan ini dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yang banyak sekali membahas tentang kewirausahaan. Tujuannya adalah menjadikan pemuda menjadi mandiri. Dalam perkembangannya penelitian di Desa Wukirsari terdapat kesenjangan yang harus segera diatasi baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, dan Pemuda sendiri. Kesenjangan tersebut, adanya masalah gender, ketersediaan lahan pertanian yang mulai sempit, adanya pengangguran, dan putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi dan pemuda usia produktif kurang bisa menekuni kegiatan seni produksi warisan dari nenek moyang. Dari berbagai kesenjangan tersebut hal mendasar yang harus diatasi adalah masalah budaya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nugroho (2015) bahwa dalam membangun kewirausahaan ada tiga masalah pokok yaitu: (1). Masalah budaya, (2) Masalah tatanan masyarakat dan (3) Kecakapan individu pada masyarakat itu sendiri. Kegagalan dari pembangunan karena ketiadaan konsep yang memadai bagi keberhasilannya. Adapun konsep-konsep pembangunan yang gagal menurut Joesoef (2014: 158-162) tersebut dikarenakan : (1) Konsep pembangunan yang bersifat partial dan menyendiri, (2) Konsep pembangunan yang mengabaikan aspek human dari rakyat (manusia) Indonesia. Manusia dalam kehidupannnya tidak hanya butuh “to have more” tetapi lupa “ to be more” , berarti bahwa mereka seft esteem dan ingin dihargai martabatnya dengan dilibatkan, berpartisipasi dalam pemikiran dan pelaksanaan pembangunan. (3) Konsep pembangunan yang tidak dikaitkan sama sekali dengan konsep “ Nation State Building” tetapi dengan kenaikan GNP, yang seolah olah dengan kenaikan pendapatan nasional negara-bangsa sebagai satu entitas dengan sendirinya menjadi semakin kukuh. (4) Konsep pembangunan yang mengabaikan etika masa depan yaitu etika yang harus dihayati sekarang untuk dan demi masa depan. (4) Konsep pembangunan yang tidak memanfaatkan penalaran aneka xii disiplin ilmiah, jadi kerja pembangunan bersifat multidisipliner. Lebih lanjut disampaikan Swasono (2010) pembangunan yang berhasil dan lebih lagi dalam menghadapi globalisasi maka masyarakat khususnya pemuda harus lah memiliki kemandirian dalam sikap dan mindset, sikap berdikari dengan menolak ketergantungan pada pihak lain, sikap subordinasi dan menolak mental pengemis. Untuk dapat mencapai itu semua Pemerintah Daerah tidak cukup hanya dengan Good Governance melalui paradigma New Public Management (NPM) bahwa masyarakat adalah pelanggan dan New Public Service (NPS) warga negara adalah citizen. Namun harus juga memahami perubahan yang terus dinamis. Untuk itu perlu mengkonstruksikan melalui konsep Dynamic Governance dimana kultur atau kearifan lokal menjadi fondasi dasar dalam pembangunan juga kapabilitas baik dari pemerintah ataupun masyatakatnya melalui tiga prinsip utama yaitu Thinking ahead, thinking across dan thinking again. Kultur atau kearifan lokal pada akhirnya menjadi penentu dalam proses perumusan kebijakan, menjadi bahan pertimbangan dalam mengadopsi atau mengadaptasi kebijakan baru dan sebagai katalisator. Dalam mengkonstruksi konsep Dynamic Governance. Ki Hadjar Dewantara menyampaikan bahwa orang Jawa akan mampu berkarya dengan baik dengan cara Niteni, Niroke dan Nambahi. Sejalan dengan hal itu perilaku orang Jawa diharapkan mampu melakukan Mulat Saliro Hangroso Wani dan Bisoo Rumongso dalam mewujudkan Memayu Hayuning Bawono. Sehingga budaya kearifan lokal di Desa Wukirsari yang meyakini “Berkah ndalem” merupakan rejeki dan anugerah dari Tuhan melalui Raja nya semakin memberikan semangat dan keyakinan yang tinggi. Dari hal-hal tersebut diatas dalam penelitian penting melibatkan tiga aktor penting untuk keberhasilan membangun kewirausahaan pemuda yaitu Pemerintah, swasta dan pemuda itu sendiri sesuai dengan perannya masing-masing. Untuk dapat mengatasi kesenjangan yang terjadi maka penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan membangun kewirausahaan pemuda baik itu programnya, mekanisme pelaksanaannya, aktor yang terlibat dan nilai kearifan lokal yang dapat dikembangan, serta faktor-faktor yang mendukung dan menghambat, sehingga nantinya dapat memberikan rekomendasi yang tepat untuk model dalam membangun kewirausahaan pemuda. Untuk memperkuat penelitian ini, peneliti melakukan kajian melalui penelitian terdahulu, untuk melihat kebaruan yang akan ditemukan dalam penelitian ini. Juga teori- teori yang mendukung baik itu teori tentang administrasi publik, teori pembangunan, teori tentang kearifan lokal dan teori tentang kewirausahaan. Sedangkan metode yang digunakan penelitian ini dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif, melalui teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif Model Interaktif yang dipopulerkan oleh Miles, Huberman dan Saldana (2014) yang meliputi, Pengkodingan data, penyajian data dan menggambarkan kesimpulan / verifikasi.